Maret 18, 2015

Trending Destination In Banyumas - Curug Nangga

Perjalanan kemarin, Saya, Yanu, Dika, dan partner Yanu berangkat pukul 9.00 WIB dari Purwokerto. Destinasi yang kami tuju adalah sebuah curug di sebelah barat Purwokerto yang lagi ramai dibicarakan sekaligus dikunjungi masyarakat umum di sekitaran Banyumas. Sepertinya Curug ini tidak mau kalah menunjukkan #PESONAINDONESIA-nya dengan Curug Telu dan curug-curug lainnya kepada publik. Curug Nangga namanya. Terletak di Desa Petahunan, Kecamatan Pekuncen, Banyumas. Jarak tempuh dari Purwokerto sekitar 30 km. Setelah melewati rumah makan Sumber Alam, ambil jalan ke kiri. Setelah memasuki jalanan ini, kontur jalannya mulai menanjak dan lumayan curam dengan lebar kira-kira 4 meter. Akan mudah menemukan petunjuk yang mengarahkan kita sampai dimana curug berada. Sampailah kami di tempat parkiran, cukup saja dengan membayar tarif parkir sebesar Rp 2.000 . Kemudian melanjutkan lagi dengan berjalan kaki untuk turun ke curugnya.

FYI - Tempat wisata ini baru dibuka 2 minggu lamanya. Dengan pertama kali dikenalkan oleh para pecinta alam di Banyumas yang akhirnya bisa dikenal banyak orang. Pengelola sendiri masih dikerjakan oleh warga desa sekitar yang sepertinya sudah dibentuk untuk mengembangkan kemajuan obyek wisata ini. Untuk rekor kunjungan per harinya mencapai 800 orang (7/3/15) dan sampai 2.000 orang (8/3/2015).

Akhir dari jalanan beraspal, kita akan membayar tarif masuk yang dipatok sebesar Rp. 3.000 . Masih berjalan kaki untuk menuju curugnya yang ternyata berada di sisi bawah bukit seberang. Jalanan menurun dan semakin menurun, dengan kontur tanah dan ada yang sudah disusuni dengan batuan oleh pihak pengelola.


Areal persawahan di sekitarnya
Curug mulai terlihat dari tempat saya berdiri. Tampak masih sangat kecil. Hamparan persawahan luas yang sedang menguning memberikan rasa Nusantara yang sedap dipandang mata. Di sepanjang jalan menuju ke curug, banyak warga yang berjualan makanan dan minuman. Ada pop mie, indomie, minuman kaleng, air mineral, mendhoan, dan lain-lain. Inilah multiplier effect yang dapat dicontoh oleh desa-desa lain di Indonesia. Potensi wisata memberikan manfaat yang baik bagi masyarakat sekitarnya.

Sampailah kami beberapa meter tepat di depan Curug Nangga. Saya menghitung, ada 7 tingkatan (tangga) pada curug ini. Tingakatan paling tinggi berada pada tingkatan pertama dan kedua. Untuk debit airnya cukup deras jatuh ke bawah, semakin melebar ke bawah, dan semakin rendah pula tingakatannya. Namun sayang warna airnya agak keruh (kurang jernih). Sejauh itu, tetap nampak eksotis dan cantik kok. Saat itu, pengunjung pun semakin ramai. Banyak rombongan anak SD dan kawula muda yang mulai mendatangi tempat itu.



Curug Nangga

Keren kan curugnya
Aliran sungainya banyak ditemukan batuan cadas. Sebuah jembatan kayu yang dibuat untuk menyebrangi antara daratan (bukit) untuk melihat lebih jelas curugnya. Dengan masih dikembangkan seadanya, banyak para warga yang bekerja membangun jalan, mematok batuan untuk membuat tangga, dan menggarap tanah untuk didatarkan. Jalanannya pun masih dikatakan susah untuk mencapai ke curugnya. Saya mendaki bukit itu dengan jenis tanah (lempung) yang basah dan licin. Memang sudah ada bambu yang dikaitkan pada sisi pohon untuk kita dapat berpegangan dan berjalan menuju ke curug paling atas. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hiruk-pikuk ketika curug ini dikunjungi ribuan orang seperti hari minggu kemarin.



Jalan menuju ke atas
Saya pun mengabadikan momen selama disana. Memotret land scape, pemandangan, dan merekam keindahan Curug Nangga.


Tngkatan kedua
Saya turun ke curug pada tingkatan yang kedua. Terdapat dua sisi air yang jatuh dari atasnya. Sebelah kiri lebih banyak volume airnya, sedangkan yang sebelah kanan lebih kecil. Banyak orang bermain-main dengan airnya. Ada yang sekedar duduk di tepian. Ada juga yang sedang piknik di atas batuan dengan air yang mengalir dangkal. Saya meninggalkan tempat itu dan melanjutkan ke curug paling atas. Untuk curug paling atas, volumenya lebih deras meski tidak setinggi curug yang kedua. Dari sini, kita bisa melihat pemandangan ke bawah dimana awal kita berdiri serta bukit awal dimana kita menuruni bukit. Kami tidak berlama-lama disana. Panas terik menyengat meski awan tebal menyelimutinya. Setelah puas berfoto dan berjalan, kami pun pulang. 
Tingkatan pertama

Perjuangan terberat yang kita dapatkan disini adalah ketika jalan pulang, kita akan mendaki bukit dengan rasa yang cukup melelahkan sekitar 20-30 menit untuk sampai ke parkiran. Jangan lupa untuk mampir ke warung warga sekitar untuk duduk, tegur sapa, minum ataupun sekedar beristirahat. Jangan lupa pula untuk mematuhi himbauan untuk tidak membuang sampah sembarangan selama disana. 


Penampakan bukit yang kita turuni untuk menuju curug dimana saya berdiri

Curug Nangga adalah salah satu curug yang ada di Kabupaten Banyumas. Masih banyak curug-curug lain yang bisa kita kunjungi seperti Curug Telu, Curug Moprok, Curug Lawang, Curug Cipendok, Curug Ceheng, Curug Gomblang, Curug Bayan, Curug Gede, Curug Pengantin, Curug Putri, Curug Aja, dan curug-curug lainnya yang belum teridentifikasi oleh saya di kaki Gunung Slamet dan tempat lain.

Ngapain disitu kalau ngerasa sedih

View dari ringkatan paling atas

Tingkatan ketiga dan keempat
Semoga dengan semakin terkenalnya curug ini, kedepannya semakin mempercantik fasilitas yang ada di tempat ini, seperti tong sampah, toilet, akses jalan yang mudah, dan mungkin dibuat gazebo untuk duduk/istirahat.
Share:

Serasa Kolam Pribadi di Curug Moprok

Edisi petualang waktu itu (28/02/2015), saya mengajak kakak saya dari Jekardah yang kebetulan lagi cuti kerja untuk ikut jalan-jalan bersama teman-teman kampus saya (baca:keluarga sosial). Keluarga sosial adalah akibat hubungan satu organisasi yang sama di kampus dan berujung kepada hubungan kekeluargaan. Sosial disini adalah job desk dalam organisasinya yang sudah masuk ke dalam 3 generasi. Mereka adalah Rizki, Dimas, Yana, Raka, Anggi, Wiwid, Kiye, Niswil, Yusma, Ambar, dan Nindy. Kami mulai kumpul pukul 8.00 WIB di Kampus Ekonomi tercinta dan mulai berangkat satu jam kemudian.

Melepas penat saat weekend adalah melupakan beban hidup yang harus diperjuangkan. Sedangkan menciptakan momen bersama orang-orang terkasih adalah sebuah kebahagiaan yang tidak terlupakan ketika kita memulai dan beranjak menuju dan bersama masa depan.

Destinasi kami saat itu adalah sebuah curug di Desa Karangsalam, Baturraden. Sampailah kami di parkiran yang sudah dikelola warga sekitar. Ada pula warung kecil di gubug menuju ke arah Curug Telu. Tetapi kami bukan menuju ke Curug itu, melainkan Curug Lawang yang berada di dalam gua. Kami berjalan mengikuti jalan setapak. Sampai mengarah ke arah Curug Telu, kami berbelok ka arah atas. Lalu seorang bapak-bapak, mengatakan kalau arahnya ke kanan (Curug Telu). Padahal kami bukan mau kesana. Lalu bapak tersebut mengatakan kalau ke Curug Lawang bukan melewati jalan tersebut. Kenapa kami ke arah itu, karena beberapa hari sebelumnya, ketika saya ke Curug Telu, saya ditunjukkan arah tersebut oleh seorang bapak-bapak yang sedang mengarit rumput di tangga yang menuju Curug Telu.

Saya melanjutkan perjalanan tanpa hirau dengan perkataan bapak yang kami temui. Kemudian jalannya mulai menaiki bukit, para cewek-cewek mulai risau mendengar ocehan si bapak tadi karena takut kesasar. Mereka ngoceh ini, itu, apalah, entahlah. Lalu saya dan Wiwid naik duluan ke atas buat meyakinkan jalan. Menanyakan kepada orang yang ada di gubug. Ternyata eh jalan itu bukan menuju Curug Lawang, tetapi ke Curug Moprok yang katanya ibunya sih cukup jauh sekitar 15 menit. Akhirnya saya dan Wiwid memutuskan untuk menuju curug tersebut yang memang sudah kami incar sebelumnya.

Jadi  begini informasinya. Desa Karangsalam itu salah satu desa di Kecamatan Baturraden yang memiliki potensi alam yang cukup melimpah. Terletak di bawah Gunung Slamet. Yang jelas di ketinggian beberapa ratus mdpl. Disana kita bisa melihat sky line Purwokerto. Ada pendopo yang dibangun untuk melihat pemandangan alam di bawahnya. Katanya juga, tahun lalu salah satu desa yang dapat PNPM untuk pengembangan dan kemajuan desa. Tentunya areal persawahan banyak ditemukan disana. Ada pula kandang sapi dan ayam. Sungai yang megalir dari hulu Gunung Slamet sehingga banyak ditemukan air terjun (baca:curug). Diantaranya Curug di dekat hotel (gatau namanya), Curug Putri, Curug Telu, Curug Lawang, Curug Moprok, dan curug lainnya yang belum saya dengar informasi keberadaannya. Saya memang melihat potensi wisata alam dan agrowisata di desa ini. Perlunya pengembangan pihak desa, masyarakat dan pemerintah untuk bisa mewujudkan desa ini seperti desa wisata yang sudah berkembang dengan tetap menjaga kelestraian alam dan ekosistemnya meski kehidupan modern mendegradasi, seperti Kampung Naga (Garut).

- Kembali ke cerita -

Curug Moprok
Kami melewati jalanan yang menurun. Harus hati-hati dan waspada melewatinya sebab jalan tersebut masih jalan tikus. Tepat di pinggir daratan (bukit) yang sebelah kanannya jurang. Banyak pohon bambu dan jenis tumbuhan hutan tropis. Terdengar suara aliran sungai di bawah jurang. Sampai terus mengikuti jalan setapak sampai ketemu di ujung sungai. Dilanjutkan menyusuri sungai sekitar 150 meter lagi. Sungainya tersusun dari batu-batuan di sepanjang alirannya sehingga kita bisa memilih untuk berjalan melewatinya. Hati-hati menapaki batuannya, karena banyak yang ditumbuhi lumut sehingga licin untuk diinjak. Akhirnya 15 menit dengan lebih 20 menit kami sampai di Curug Moprok dengan perjuangan yang luar biasa. Sebenarnya tidak terlalu jauh untuk menyusuri jalan setapak dan sungainya. Hanya saja, kami saat itu lebih banyak ceweknya jadi harus jalan pelan-pelan dan banyak istirahat. Selain itu, kami lebih banyak bercanda karena kejadian dan momen yang terjadi. Ada yang kepleset, ada yang digigit lintah, ada yang kecebur, ada yang dicengin dan pastinya ada juga yang diketawain.

Di atas batu yang paling gede
Tampak dua bagian air jatuh dari ketinggiannya yang lumayan. Air terjun  di antara tebing yang ditumbuhi sejenis tumbuhan lumut dan paku. Dari kejauhan, air terjunnya terlihat lurus dan ramping. Kami semakin berjalan mendekati curug itu. Pada bagian kanan, ada batu besar menjulang tersusun. Di tempat kami berdiri batu-batu yang ukurannya kecil dan sedang seolah menyumbat aliran air sehingga mencembung seperti kolam yang lumayan besar ukurannya. Air terjunnya jatuh ke bawah menimpa batu-batu yang tersusun di bawahnya pula. Terlihat juga air muncul dari belakang tumbuhan lumut di bagian kiri bawah. Dari tempat kami berdiri, debit airnya tidak begitu deras. Tak lama, Saya dan Dimas  berenang-renang disitu. Wooow...airnya sungguh dingin. Tenang dan dalam. Entah kedalaman berapa meter. Yang jelas rasanya seperti kolam alami. Saya pun hanya membasahkan badan sebentar sebab tidak kuat berenang berlama-lama. Mengapungkan badan ke atas, melihat-lihat #PesonaIndonesia , melupakan keseharian yang memuakkan dan merasakan ketenangan.
Di bawah curug

Lalu saya mencoba mencapai ke bagian tepat di bawah air terjun itu. Batuan disini lebih licin dibanding batu yang kami lewati sebelumnya. Mungkin akibat endapan mikro organisme yang menempel pada sisi batuan sejak dahulu kala. Dari bawahnya baru terlihat deras air yang jatuh dan berterbangan ke penjuru sekitarnya. Ada efek pelangi kecil yang muncul. Saya merasa menggigil karena kedinginan. Sepertinya lemak jenuh di tubuh saya belum banyak tertimbun.


Keluarga Sosial :*
Langit terlihat mulai mendung. Kami pun beranjak meninggalkan curug yang cantik itu. Sungguh puas dan ingin berlama-lama berada disana. Banyak pelajaran yang saya temukan di perjalanan kali ini :
  1. Kita akan melihat mana orang yang peduli terhadap orang lain dan alam semesta.
  2. Kaum adam akan ternilai seberapa besar tanggung jawab mereka ketika dihadapkan dengan keberadaan kaum hawa ketika di luar zona nyaman yang tidak bisa diduga sebelumnya apapun bakal terjadi. 
  3. Perjalanan akan menentukan sikap yang harus diambil seperti harus menyabarkan diri sendiri maupun orang lain, terlebih dengan keluhan dan ocehan orang-orang yang tidak dapat (baca: kurang mampu) bertahan di luar zona nyaman mereka. 
  4. Kesadaran dan mawas diri dalam setiap perjalanan harus dipersiapkan dengan matang, seperti kesahatan, P3K, dan pakaian yang membuat nyaman ketika akan mengunjungi tempat yang akan kita tuju.
  5. Kita bisa menilai mana orang yang memiliki karakter dan passion yang sama dengan kita, contohnya apakah mereka tipe petualang beneran atau bukan.
  6. Banyak lintah disana. Jangan lupa bawa garam/tembakau. Saat itu kami tidak bawa apa-apa, pulang-pulang banyak lintah yang nempel di kaki. Itung-itung donor darah hehehe.




Share:

Piknik ke Curug Telu

Edisi jalan-jalan kali ini, setelah lama untuk merencanakan untuk pergi ke curug ini akhirnya kesampean juga setelah perjalannya sebelumnya sempat kesasar muter-muter di pematang sawah, naik bukit turun bukit, menyusuri sungai, dan sampai digigit lintah. Cerita kali ini ditemani dengan teman kuliah saya saat mendaki Gunun g Prau, Dieng.

Malam harinya pukul 23.xx WIB, sms dari Atikah ngajakin piknik ke curug telu. Kumpul jam 7.00 pagi on-time di kosannya bareng temen-temen kelasnya. Esok paginya, dia telepon lagi ngebangunin saya dan bilang kalau semuanya sudah kumpul. Dengan mata masih sembab dan mengantuk, dengan sedikit terburu langsung cuci muka dan gosok gigi, tanpa mandi, dan langsung membawa perlengkapan mandi untuk mandi-mandi di curug. Sampailah di kosan Atikah. Buset. Masih sepi broh. Terlalu. Saya dibohongin sama Atikah, dengan alasan saya sering kesiangan dan datang telat. Kita duduk di depan kosan nungguin temen-temen lainnya yang ada masih di jalan, baru bangun, lagi mandi, dan lagi bungkusin makanan buat kita makan nanti.

Akhirnya kita berangkat pukul 8.30 WIB, dengan beberapa adegan ngambek-ngambekan oleh seorang tersangka acara piknik kita hari itu akibat yang lainnya datang on-time dengan kita jemput dahulu ke kosannya. Hari itu hari jum’at juga. Jadi waktu untuk melaksanakan Jum’atan menjadi pertimbangan kesiangan dan nyatanya kami berangkat sungguh siang sekali.

Jarak menuju kesana memang tidak jauh, sekitar 30 menit perjalanan motor. Dari arah Purwokerto menuju Baturraden, sebelum pintu gerbang, kita belok kanan mengikuti jalan, sampai ketemu pertigaan sebelum SMP Karangsalam, belok ke kanan menuju ke Desa Limpakuwus, ketemu lagi pertigaan ambil ke kiri dengan jalanan sedikit menanjak, terus mengikuti jalan, acuhkan pertigaan jalan setelah lapangan, lurus terus sampai ketemu kandang sapi di sebelah kanan, naik sedikit, ambil ke kanan dengan jalan masih berbatu dan tanah, ikuti terus jalannya sampai ujung jalan. Kedua kalinya saya kesana, warga sekitar sudah membuatkan jalan menuju curugnya, membuat tempat parkir untuk kendaraan kita dengan tarif Rp. 2.000 saja dan ada pula warung kecil yang berjualan disana.

Kembali ke cerita pertama. Sampailah kami di Desa Karangsalam. Ya, sebuah desa di Kecamatan Baturraden yang memiliki potensi alam yang melimpah. Saat itu, kami memarkirkan motor kami di pinggir jalan sebelah rumah warga. Lalu melanjutkan perjalanan darat sekitar 15 menit untuk menuju curugnya setelah bertanya ke petani yang sedang bekerja di sawah.

Jembatan kecil
Orang-orang yang kami jumpai pun sangat baik dan ramah. Setiap kami bertanya, selalu diberikan jawaban terbaik mereka. Bahkan kami diantarkan menuju jalan kesana oleh ibu-ibu yang sedang menggarap sawahnya. Ibu itu bilang, kalau kemaren ada juga rombongan dari Surabaya yang datang ke curug ini.

Kolam di bawah jembatan
Akses Tangga PDAM
Melewati sebuah jembatan kecil. Lalu berbelok ke arah kanan, dengan fasilitas tangga milik PDAM kami menuruni tangga tersebut. Cukup curam juga menuju ke bawah sana. Nampaklah, air deras mengalir dari atas sebelah kiri. Makin ke bawah, makin tampak aliran sungai itu. Sebelah kanan, ada juga air jatuh mengalir dengan kubangan air yang cukup dalam. Batu-batuan besar. Sebuah pipa air minum ada di sisi atas tempat kami berdiri. 



Curug dekat tangga




Curug Bagian Belakang
Jadi di tempat ini, ada tiga air terjun mengalir di sekelilingnya mengalir. Mungkin inilah filosofi dinamakannya “Curug Telu”. Sudah tidak sabar. Kami turun menuju tepian batu-batu itu. Keren sekali suasananya. Di belakang kami, air mengalir dengan debit air paling kecil. Air terjun yang paling utama tepat di depan kami. Lumut hijau terlihat di sisi tebing air terjung dengan air mengucur pula dari baliknya. Di sebelahnya lagi, ada sebuah gua kecil dengan bongkahan batu besar di mulutnya.

Curug Utama
Kami sudah tidak sabar merasakan air sungai itu. Brrrrr. Dingin sekali rasanya. Okeee. Tanpa berlama-lama, saya langsung mengganti pakaian saya dan menceburkan diri ke dalam sungai. Airnya dingin seperti es. Kubangan airnya tidak terlalu luas, kedalamannya tidak tahu seberapa dalam karena saya tidak sempat menyelam ke dasarnya, yang jelas airnya sangat hijau dan dingin. Mungkin kalau saya niat dan menyelaminya akan menemukan istana dengan para pengawalnya di bawah sana hahaha. Sayangnya saya kurang berani berenang ke arah jatuhnya air terjun, sebab airnya cukup deras dan suasana disana sepi sekali. Masih jarang didatangi orang waktu itu. Perasaan saya juga antara hati-hati dan mawas diri. Soalnya yang mandi hanya saya, yang lainnya masih asyik berfoto-foto. Hanya ada kami bertujuh saat itu.

Tanpa lama-lama, kami pun makan. Di antara kami, ada yang membawa nasi, mie goreng, ikan asin, air minum dan sambal. Kami menikmati makan pagi di atas bebatuan sambil ditemani suara air mengalir. Sungguh nikmat sekali. Setelah makan. Kami bermain-main disitu. Ada aliran sungainya yang kecil dengan batu-batuan besar. Berfoto-foto dengan gaya kalender tahunan, itu para cewek-cewek. Kalau saya, lebih merekam video dan menjepret  #PESONAINDONESIA yang saya dapatkan disana. Tak berlama-lama kami menikmati curug itu, pulang membawa sampah dan kenangan sebelum waktu jum’atan tiba.
Gambar pada Februari 2015. Sudah ramai dikunjungi orang-orang.




Share:

Menyasar Ke Entah Berantah : Curug Aja

Meski skripsi jalan tersendat-sendat, namun kalau masalah jalan-jalan beneran, bagi mahasiswa itu sangat menggairahkan sekali. Tak hayal, virus jalan-jalan sekarang sudah meracuni banyak keinginan orang. Banyak motif di balik mereka menyukai jalan-jalan. Ada yang pengen update status, pamer foto, menunjukkan eksistensi, menghilangkan penat, dan lain-lain. Kalau saya sendiri motifnya, pertama memang saya suka jalan-jalan, dengan alasan, Tuhan sudah menciptakan alam indah teramat indah, so sayang banget kalo gak dinikmatin gitu aja, selain itu, saya suka jadikan bahan tulisan di media online atau blog. Kebetulan, kala itu saya sedang dirundung dengan kewajiban skripsi yang sungguh memuakkan pikiran saya. Akhirnya, tanpa pikir panjang, seraching tempat wisata alam di sekitar kota saya. Menemukan blog bagus yang mengulas tentang Curug di Kabupaten Banyumas. Semua blognya membahas tentang beberapa curug di Banyumas yang menurut saya ada beberapa yang menarik di pikiran saya. Saya langsung mengajak teman saya. Mereka adalah Yanu, Atikah, dan Tia.

Kami kumpul pukul 9.00 WIB di kosan Atikah. Kami berangkat menuju Desa Karangsalam, Baturraden. Sampailah di titik terakhir kami memarkirkan motor. Saat itu, kami menitipkan motor di kandang sapi. Lalu kami bertanya kepada warga sekitar menuju Curug Telu. Kami diberitahukan dengan kakek tersebut sampai dengan menuju persawahan. Lalu mengikuti perjalanan dengan feeling saja. Setelah sempat menuruni sawah, nampaklah sebuah air jatuh mengalir di seberang tempat kami berdiri yang sepertinya dari sawah. Kami mengira itulah curugnya. Namun, setelah bertanya ke petani yang kami lewati ternyata bukan. Kami bertanya lagi dengan seorang bapak dan ditunjukkan jalan yang benar untuk menuju kesana. Menyusuri bukit, menuruni lembah, setelah melewati sawah yang sebelumnya kami telah salah jalan.

Kami mengira curugnya ada di antara tebing nan jauh disana
Ini salah satu dari beberapa pipa yang ada disana
Sampailah tepat di pertigaan, dengan menggunakan feeling, kami menuju ke arah kanan, bukan lurus! Di ujung cerita blog yang saya baca, untuk menuju curugnya, kita akan bertemu dengan pipa PDAM lalu menyusuri sungainya. Horayyyyy. Disitu kami menemukan pipa PDAM. Tetapi belum mendengar suara curungnya. Kami tepat di bibir sungai yang mengalir. Apakah kami menyusuri sungai ke arah atas atau bawah? Awalnya saya meyakini ke arah atas, namun sedikit ragu. Atikah lebih meyakini ke arah bawah. 


Di ujung jalan
Akhirnya kita nyebrangin itu sungai, karena melihat bekas jalan di seberang bukit. Menaiki bukit itu lalu mengikuti jalannya. Kami tersesat kawan. Masa iya terus menanjak ke bukit itu. Tanpa diduga, Tia melihat sesuatu di kaki Yanu. Eh ternyata seekor pacet kecil yang imut nan lucu. Hahahaha. Si Tia malah sedikit ketawa ngeliatnya. Gile emang si Tia. Saat itu, kami tidak membawa bekal P3K. Waduh, kacau juga. Yanu sudah panik. Saya pun mencabut pacetnya setelah kami menimbang dan memutuskan untuk melepaskan pacet tersebut dengan persetujuan Yanu. Eh setelahnya, darah kental keluar megucur di kaki Yanu. 


Antara tersesat dan menyesatkan diri ini mah
Yanu makin panik kekurangan darah kotor akibat disedot lintah dan ditambah kebutaan jalur untuk menuju ke curug yang kami tuju. Kami sudah terlanjur tersesat. Menikmati momen tersesat yang sedang terjadi. Toh kami masih di Baturraden. Bukan di hutan Kalimantan ataupun Amazon. Kami menyusuri bukit itu yang semakin menanjak. Dengan perbincangan yang panjang, kami memutuskan untuk kembali ke bawah dan menyusuri sungai itu saja, karena saya melihat sungai itu tidak dipenuhi air, banyak batuan yang bisa kami lewati.

Itu curugnya
Kami pun menyusuri sungai itu dengan masih penuh semangat menuju Curug Telu. Batu-batu dan pasir memenuhi aliran sungai itu. Aliran airnya hanya di satu bagian sisinya saja. Lalu ada tanaman liar yang sedikit rusak tepat di tengah daratan tengah sungai dengan bekas terkena banjir (air pasang). Saya berjalan di depan sendiri untuk memastikan keberadaan curugnya. Jarak dengan Yanu dkk sekitar 30 meter. Mereka malah berfoto-foto cantik di tengah daratan itu. Saya pun mendengar aliran air jatuh dari atas bukit. Saya pun teriak, bahwa saya menemukan curug. Entah curug apa namanya, airnya tidak terlalu deras,tapi tingginya lumayan. Tidak langsung jatuh ke sungai, tapi di dinding bebatuan, yang dipenuhi pohon bambu di sekitarnya. Mungkin itu curug yang airnya dari sawah di atas sana. Sampailah Yanu dkk di tempat saya.  Kami pun berfoto-foto dan menamai curug itu dengan nama “Curug Aja”. Filosofinya ? Entahlah, pokoknya ya curug aja.


Curug Aja
Hari sudah sangat siang. Kami tak lama berada disana, sebab sudah lelah berjalan sepanjang perjalanan. Kami menyebrangi sungai tak begitu dalam. Melewati ladang-ladang dan sawah. Hingga bertemu lagi dengan, sebuah gubug dengan pertama kami salah jalan tadi. Eh saya pun berpikir, Tuhan belum menjodohkan keberuntungan kepada kami untuk menuju Curug Telu, sebab dari awal kami sudah ditunjukkan curug yang kami datangi, tak taunya kami justru beneran menuju kesana. Kami pun pulang dengan perasaan masih penasaran, lalu bertanya kepada bapak-bapak dimana arah dan jalan yang tepat. Si bapak mau mengantarkan kami ke Curug Telu, namun kami sudah kecapekan, dan akan mencobanya di lain hari.





Share:

Instagram