Juli 27, 2015

Bahagia Hari ini : Weekend ke Karang Pengantin

Lunglai. Pusing. Hard Thinking. Badan pegal. Alhamdulillah, beruntungnya hati teramat bahagia atas rencana Tuhan yang tidak disangka akan sebaik dan semakna hari ini.

Otak tidak mau kalah dengan nafsunya merangsang tangan untuk sesegera merangkai kata-kata dan menyebarkan kebahagiaan hari ini. Sedikit egoisnya, otak sinkron ke mata untuk tidak (belum) diistirahatkan. Mata yang selalu menurut pun mengabulkan perintah otak. Otak memang ambisius. Selalu berpikir keras, terkadang random, hingga penuh fantasi. Kasihan tulang telapak kaki dan punggung, refleks menggerakan dan menghasilkan suara-suara *krek* untuk menghilangkan rasa kaku pada organ mereka.

Kisah kejadian hari ini berlatarkan suatu desa pesisir di selatan Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Kebumen, Kecamatan Ayah. Memasuki jalan masuk menuju pantai, terpampang jelas peta lokasi wisata saat kami mengantri untuk membayar tiket masuk sebesar Rp3.000/orang dan Rp2.000/motor. Masih terjangkau bukan bila dibandingkan saat dua bulan yang lalu, saya masih gratis masuk kesana (Pantai Lampon).

Sugeng Rawuh ing Pasir Indah.
Sampainya di parkiran dekat TPI Pasir, seorang pemuda tanggung mengatakan agar membawa motor yang kami kendarai untuk terus dipakai naik ke atas bukit. "Jalannya belum bagus sih, masih tanah, tapi bisa kok dilewatin. Di atas ada parkiran", paparnya. 

Menanjak di jalanan bukit dengah tanah jenis kapur dengan sedikit batu-batuan lancip membuat saya dan Kang Wil bergoyang-goyang di atas motor. Selain berdebu, kasian motornya dibajak ke jalanan yang belum diaspal (ini sih kata pemilik kendadaan). Harus hati-hati dan pelan melewati jalanan itu. Beberapa orang berjalan di pinggiran. Sekitar ratusan meter sampailah di tempat parkiran dengan jalan agak menurun sebelah kiri di bawah pohon jati milik Perhutani. Ramai kendaraan terparkir. Puluhan motor dan beberapa mobil. Terdengar suara pidato di atas panggung. Terlihat seperti beberapa orang berseragam angkatan duduk di kursi dekat panggung. Sementara warga sekitar berdiri di sekitarnya. Tidak disangka, sedang berlangsung acara silahturahim sekaligus peresmian Desa Wisata Pasir, Ayah, Kebumen.

Saya melihat lokasi sekitar. Akses pendukung seperti toilet, penampungan air, area parkir, warung kecil-kecilan, mushollah sudah tersedia. Good job lah !! Suasana ramai sekali. Hawa sejuk. Di antara batang dan daunan yang menutupi, lautan biru luas terlihat sedikit. 

Area Parkiran, Toilet, dan Musholla.
Rencana awal, kami hendak ke Pantai Surumanis, tapi Tuhan menghendaki kami ke Tanjung Karang Pengantin. Sebenernya untuk ke Surumanis masih lurus lagi mengikuti jalanan utama. Tapi saya tak kuasa, rasa lapar sungguh  terasa. Saya pun membayangkan melahap makanan yang telah dibungkus oleh mamak tercinta saya ketika di rumah. Saya dibawakan bekal olehnya karena belum sempat sarapan. Saya teringat pula akan nasehat mamak agar tidak berenang di pantai. Bahkan berulang kali beliau menegaskan kalimat yang sama persis kata-katanya, "nanti ojo mandi-mandi neng pante. men pun diajak kawan-kawan e, ojo mandi-mandi, ombak e gede." Saya mengiyakan saja. Saya memaklumi beliau sebagai orang tua, orang yang memiliki cinta dan kasih kepada anaknya. Orang yang memiliki pandangan (mindset) yang terkadang kolot alias kuno tapi bernilai benar. Orang yang telah banyak memakan asam garam. Orang yang selalu khawatir dan selalu mengingatkan. "Terimakasih mak, untuk semuanya. I Love You."

(Back to the main story)

Tujuan kami ke Tanjung Karang Pengantin. Dari parkiran, berjalan menyusuri jalan setapak ratusan meter. Melewati sisi-sisi bukit karst bertanah kering. Saking keringnya, pijakan saya tidak stabil, saya terpleset ketika berbelok dengan sedikit kontur menurun. Dari berdiri menjadi duduk. Sakitnya mana tahan. Mana lapar, pake acara kpeleset pula. Astaghfirullah.

Di kejauhan, nampak orang berada di tanjung yang akan kami tuju. Mereka tepat sedikit lebih tinggi dengan air laut yang memecah karang. Tanjung tersebut konstruknya batuan karang. Terlihat datar dan lebar. Tumbuhan hijau mengumpul di bagian atasnya. Ada bagian dimana celah tempat air menabrak karang tersebut.

View dari kejauhan.
View dari dekat

Tak lama, kami melewati Goa Wora-Wori. Berhenti sebentar. Meneduh di mulut goa. Kata guidenya, goa itu bertingkat dua. Wow !! Penasaran kami, saya tunda dahulu dan melanjutkan perjalanan setelah membeli tisu di lapak pedagang minuman. Baru berjalan sebentar, kami sampai di Goa Celeng. Disitu makin terlihat jalan ke Karang Pengantin. Jalan menurun landai. Lagi-lagi guide menyapa ramah dan menyarankan agar masuk ke dalam. Awalnya kami menolak. Ibu pemandu yang berjaga disitu merayu kami, "masuk aja mas. Lewat dalem teduh loh,  bisa nembus ke bawah". Bukan karena tidak kuat dengan rayuan ibu muda itu. Kami memasuki goa, sebab kepanasan dengan teriknya jam 12 siang matahari dengan cuaca yang cerah. "jalannya merunduk ya", kata ibu itu lagi. Goa ini memiliki mitos gaib zaman dahulu, yang katanya kalau memasuki goa tidak akan kembali dan faktanya emang banyak celeng liar disana, makanya namanya Goa Celeng. Ah elah pantesan ga balik wong goanya nembus. hehe.

Goa Celeng
Mulut goa cukup besar, ruang di dalam semakin menyempit seukuran 1 meteran sehingga harus menunduk dan lama kelamaan semakin rendah menjadi merangkak ketika sampai di ujung goa hendak keluar. Pada bagian dalam tanahnya agak basah. Memberi rasa dingin yang terasa di kepala. Di pintu keluar, banyak orang sekedar istirahat merasakan sensasi adem di sisi goa. Saya bertemu kembali dengan pedagang penjual minuman. Di sepanjang jalan yang kami lalui, warga sekitar mengais rezeki dengan berjualan makanan dan minuman. Sangat bersyukur dengan dibukanya obyek wisata baru tersebut, menambah pekerjaan dan pemasukan buat orang-orang disana. Selain itu, uniknya lagi, kebanyakan pengunjung hari ini yang mungkin jumlahnya ratusan lebih yang kami temui di sepanjang jalanan setapak adalah mayoritas warga penduduk sekitar (tua muda) yang justru penasaran dengan apa saja yang ada disana. 

Jalan tembusan Goa Celeng.

Wisatawan berteduh di pintu keluar Goa Celeng
Nyatanya disana banyak sekali obyek yang cukup menarik untuk disinggahi. Ada plang ke grojokan mengarah ke bawah, kami lurus ke arah tanjung. Kemudian melewati tangga menurun yang terbuat dari kayu di antara karang besar. Lumayan curam. Hati-hati gaes. Pelan-pelan saja kalo kata Kotak mah. Lalu akan terlihat sisi pantai si sebelah barat, ada Pantai Surumanis dengan goa kecil di ujungnya, Pantai Pecaron, dan mercusuar Tanjung Karang Bata (yang diakses dari Pantai Menganti). Memasuki wilayah hijau tanjung tersebut. Terus berjalan mengikuti jalurnya. Hingga menuruni karang bukit tersebut dengan jalanan yang kecil curam. Di salah satu spot, akan ada sisi jurang sebelah kiri yang terapit dua karang besar tinggi yang dibawahnya mungkin jutaan kubik air teramat deras menghempas bagian bawahnya. Belum adanya pembatas dan harus ekstra hati-hati melewatinya. Sampai di dataran. Hanya batu-batuan karang mendatar cukup lebar menjorok ke laut. Disitulah Tanjung Karang Pengantin.

Tangga Kayu
View di arah barat. Tanjung Karang Bata (paling ujung)

 Di bawah sana katanya ada grojokan yang airnya bisa diminum.
View bagian barat (Pantai Surumanis, Pantai Pecaron, Menganti)
Di bawah sana jutaan kubik air saling beradu menabrak karang
Kami meneduh di sisi karang. Langsung menyantap makanan yang saya tenteng-tenteng sejauh berjalan. Nasi putih, lele goreng dan sambel kentang. Kami piknik disana. Makan dengan pemandangan membiru. Dihibur riak gelombang menabrak batas daratan. Sungguh nikmat. Liat video amatirnya.

View dari Tanjung Karang Pengantin

Ombak menabrak sisi daratan bukit bagian bawah. *Bammmm*
Ada bendera merah tanda batas aman disana. Saya berjalan ke arah dataran karang. View liukan bukit di belakang dimana banyak orang berjalan di pinggirnya, buih ombak besar begitu kerasnya menabrak di sepanjang bagian bawahnya. Karang begitu kuat. Silih berganti ombak terus melawan, namun ia tetap menang. Ombak tidak menyerah. Pertarungan mereka menciptakan suara dentuman keras. Tidak kalah serunya, petugas ranger menyetel alunan reggae. Mereka terlihat slenge'an. Goyangkan badan ke kanan dan ke kiri. Ternyata hari ini memang kebahagiaan milik banyak orang, termasuk saya, dia, dan juga mereka.


Awkward moment when you realized things different after look at the photos

Liat sisi jalan setapak di pinggir bukit.
Panas beneran menyengat. Kepala saya mulai pusing karena kepanasan. Keringat membasahi kulit. Dehidrasi. Namun berjalan balik tetap semangat. Seketika makin dekat. Melihat penjual minuman sangat berarti untuk menghilangkan dahaga. Makin dekat, mencapai kesegaran di tenggorokan, sampai meneduh di Goa Celeng. Betah disana. Berinteraksi dengan orang sekitar. 

Menaiki tangga kayu menuju ke lantai dua goa yang bagian dalamnya cukup lebar dan tinggi. Seperti pilar. Cahaya lampu menerangi sedikit. Ada stalaktit yang masih hidup. Goa ini cukup menarik, di lantai bagian atasnya pun cukup luas. Ada beberapa lorong gelap yang belum dapat diakses. Kami terus berjalan ke atasnya yang menembus ke parkiran. Faktanya ada total 8 atau 9 goa yang teridentifikasi disana. Baru dua saja yang dibuka untuk umum. Menariknya seluruh warga Desa Pasir bekerja bakti untuk membuka lahan wisata disana agar makin layak dan nyaman dikunjungi. Dua jempol lah buat masyarakat yang sadar wisata begini. Tentunya harus didukung sama pemerintah dan organisasi terkait agar saling kerja sama mengembangkan kemajuan  daerahnya dengan tetap menjaga kelestarian lokal baik alam, budaya, dan ekosistemnya.

Dari dalam Goa Wora-Wori

Mulut Goa Wora-Wori
Di dalam Goa Wora-Wori

Stalaktit Goa Wora-Wori.
Setibanya di parkiran, kami disambut biduan lincah menyanyi dangdut. Saya bahagia berada disana. Bisa saya katakan, hari ini salah satu hari terbaik di hidup saya. Pulang membawa cerita bahagia nan panjang lebar ini. Di jalan pulang, melewati sepanjang Kecamatan Ayah, banyak wisata baru yang sebagian belum saya kunjungi. Dari Desa Pasir, ke barat, Ada Pantai Pecaron dan Bukit Silayur di Desa Srati. Lalu Grojokan dan Goa Sawangan. Pantai Menganti yang semakin bersolek. Pantai Karang Agung pun sudah melebarkan wilayah parkirnya. Wanalela dengan view Pantai Jetis di sebelah Muara. Pantai Logending dan Ayah. Saya hanya berpikir, ini bukan lagi soal Desa Wisata. Tapi Wisata Terpadu Kecamatan Ayah. Potensi yang luar biasa. Bahkan saya pernah mendengar informasi wisata air (tour) naik perahu dari Ayah ke beberapa pantai di sepanjang yang saya sebutkan. Ini sangat menarik sekali.

Back way to the parking area
Pemandangan dari parkiran. View bagian timur. Di dekat sini ada Pantai Lampon.
Harapan untuk kemajuan Obyek Wana Wisata Bahari Pasir Indah :

Akses infrastruktur jalan yang lebih baik lagi, karena jalan menuju parkiran belum diaspal dari arah TPI Pasir. Jalan menuju kesana diperlebar atau mungkin dibikin jalur baru. Mengingat kawasan Ayah mempunyai banyak potensi wisata dan laut yang potensial. Bukan tidak mungkin, nantinya Ayah bisa seterkenal Bali. Hanya waktu yang mampu menjawabnya. Semoga Tuhan Menghendaki. Aamiin

#KebumenKeren #VisitJateng #PesoneIndonesia #WonderfulIndonesia
 
Salam Pariwisata. 
Share:

Juli 23, 2015

Ada Apa di Bukit Batu Meja

Tak jauh ke wilayah selatan Purwokerto, tepatnya di Desa Tumiyang ada bukit keren dengan view menarik Sungai Serayu dan Gunung Slamet (bila cuaca sedang cerah). Saya sudah mengagendakan untuk kesana jauh-jauh hari setelah mengetahui keberadaan bukit tersebut dari media sosial instagram.

Tepat H+3 lebaran kemarin, saya ditemani pasangan setia perjalanan saya, Irmales. Dari rumah, sedikit malas rasanya mau pergi-pergi sebab kacamata pecah sebelah kiri. Selain pandangan yang tidak fokus, gak enak di mata kalau melihat objek yang jauh. Tampak kabur, bahkan tidak teridentifikasi. 

Rencana sebelumnya, kami hendak ke Gunung Prau. Rasa malas saya menggugurkan janji kepada kakak tercinta saya yang pengen kebangetan diajakin kesana. Memberi tahu beberapa foto bukit batu meja kepadanya. Langsung lah dia setuju dengan destinasi yang tak jauh jaraknya dari rumah kami itu.

Kami berangkat pukul 3 sore lebih. Melebihi ekspektasi jarak tempuh setengah jam, kami sampai disana pukul 4.10 WIB. Setelah melewati Pasar Patikraja, melewati jembatan satu arah sampai dapat pertigaan, lurus terus ambil ke kanan mengarah ke Kebasen. Terus mengikuti jalanan sampai bertemu bukit yang dikepras dozzer. Tak jauh akan ada plang Satria Foto sebelah kiri, masuk ke gang tersebut dan ambil ke arah kiri sedikit menanjak dengan jalanan disemen. Parkiran motor di rumah warga tepat sebelah kanan. Disitu ada dua adik-adik yang menjaga parkir disitu. Kata mereka. "jalannya naik ke atas dan masih susah". Sesusah apa sih treknya, batin saya.

Trek ke atas bukit
Perjalanan selanjutnya, kami mendaki bukit dengan rute lurus menanjak dengan jalanan yang masih apa adanya. Benar kata adik-adik penjaga parkir, jalanan menuju ke atas masih susah. Buset dah. Kontur tanah gembur, lumayan terjal, menanjak lurus sampai ke atas. Melewati tumbuhan bambu, ladang perkebunan singkong, pisang, dan pohon milik warga yang tanah dan tanamannya terlihat bekas sering dipijak. Agak sulit melewati trek saat itu karena selain tanahnya yang sedikit licin, kami hanya berpegang pada tumbuhan di sekitar yang dikira mampu menjadi pegangan. Bukitnya sih tidak terlalu tinggi, hampir sebelas duabelas seperti mendaki Bukit Sikunir. Lama-kelamaan capek juga. Untung saja kami membawa air mineral. Kami berhenti perlahan. Mulai terlihat Sungai Serayu di bawah sana. Sudah hampir setengah jam untuk sampai ke atas bukit.


Terdengar suara kereta lewat. Saya hampir menginjakkan kaki di atas dataran bukit itu. Saya berlari, kemudian belok ke arah kanan, dimana batu-batuan terlihat random. Saya merekam momen kereta tepat melintasi jembatan di atas Sungai Serayu. Suara gesekan keras terdengar sampai ke atas bukit. Rasa lelah terbayar dengan tegukan air mineral. View bukit di seberang depan, segala jenis kendaraan di sisi jalanan, terlihat rel kereta mempercantik landscape, persawahan menguning di bawah berjejer dengan alur tepi sungai, liukan sungai cukup lebar memanjang dari hulu, dan jembatan kereta berdiri kokoh di atas sungai. Indah ! Perpaduan antara hijau dan putih. Sayang, cuaca kurang bersahabat dan sedikit gelap ditutupi awan putih menyebar di atas langit. Gunung Slamet pun tidak terlihat. Mungkin lain kali saya harus kesana lagi. 

Bukit Batu Meja
Saya melihat potensi itu. Potensi alam Indonesia yang memang benar adanya. Potensi yang harus dikembangkan. Saya pun mempunyai mimpi untuk mengembangkan sektor wisata disana kelak. Saya bermimpi di masa depan, saya bisa membangun sektor wisata tersebut agar lebih hidup. Lebih inovatif ! Saya bermimpi sungai di depan saya, yang telah menjadi sumber kehidupan banyak orang sejak dahulu, mengalir tenang sampai ke laut dan memberikan banyak kegunaan, semoga bisa seperti Sungai Seine yang membelah Kota Paris menjadi dua sisi, la rive droite (tepi kanan) dan la rive gauche (tepi kiri). Saya membayangkan apabila sungai di depan saya itu dibangun menjadi jalur lalu lintas air komersial dan tujuan wisata yang menghubungkan Kota Lama Banyumas, melewati Desa Papringan (yang katanya sentra batik di Banyumas), hingga sampai ke Bendungan dengan menjual apa sih sebenernya yang melekat di Banyumas itu sendiri. Banyumas punya Bawor, punya mendhoan, punya Baturraden, dan Banyumas punya Serayu. 

Semoga tidak hanya mimpi, semoga Tuhan menghendaki.

View Bukit Batu Meja

Hanya kami di atas sana. Saya berlalu meninggalkan kakak saya, berjalan ke sebuah batu coklat yang terletak di ujung berdiri di pinggir bukit agak menggantung seperti sebuah meja. Itulah filosofi nama bukit ini dinamakan.



Batu Meja

Saya duduk di atas batu itu, menikmati pesona alam di kala sore. Matahari sedikit menembus awan sebentar saja. Tidak lama lalu menghilang. Semakin pekat. Suasana sepi dan sunyi. Berisik di bawah sana terdengar samar. Sejak kedatangan kami disana, sebanyak lima kereta api melewati dari masing-masing kedua arah. Suara gesekan besi beradu kuat ketika melewati jembatan terdengar sangat keras .
Di atas Batu Meja
Beberapa orang mulai berdatangan. Mereka pun dari sekitaran Banyumas. Hingga akhirnya kami pulang melaluin jalan yang berbeda saat menaiki bukit itu. Dari sisi belakang bukit, melewati pepohonan pinus yang katanya jalannya lebih landai. Hampir datang waktu mahgrib. Saya bingung karena jalanan tidak berujung, padahal kami sudah berjalan jauh. Kami bertemu dengan pengunjung lainnya yang sama-sama mencoba jalan tersebut dan sama-sama pula tidak tahu jalan ujungnya. Alhasil, kami tersesat sama-sama, membuka jalan sendiri, hingga akhirnya kami menemukan rumah warga yang jaraknya cukup jauh dari tempat kami memarkirkan motor. Tersesat adalah bagian dari sebuah perjalanan. Bagian dimana kita harus bertahan dan mencari jalan pulang. 

Jalan lewat pohon pinus
Sampainya di parkiran. Lumayan banyak motor terparkir disana. Beberapa orang duduk di teras rumah. Seorang bapak menyapa,"gimana mas pemandangannya?".
"lumayan bagus pak, cuacanya aja yang lagi gak cerah. hehe."
"iya mas, kalau cuacanya lagi bagus, Gunung Slametnya kelihatan jelas."
"iya pak, tadinya sih ngarep dapat awan yang bagus. Udah berapa lama dibukanya pak? jalannya cuma dari sini aja ya? katanya ada jalan memutar itu lewat mana?", tanya saya.
"udah sebulan mas, jalannya emang lebih dekat dari sini, jalannya susah ya? nanti habis lebaran mulai diperbaiki. Kalau jalan memutar bukan lewat sini, itu lewat Mandiracan (cmiiw, soalnya gak begitu kedengeran). Bayar parkir cuma untuk karang taruna disini buat ngembangin lagi. Diajakin ya mas temen-temennya biar pada kesini.", kata si Bapak menjelaskan.
"oke pak, pasti itu."
"oh ya motor ini tau gak punya siapa? apa di atas masih ada orang?"
"gak tau pak, tadi sih masih ada rombongan naik terakhir pas kami turun".
Saya memberikan uang parkir kepada mereka, lalu bergegas pulang melewati jalanan yang cukup ramai, dan berhati-hati di kegelapan malam.

Jadi, mau kapan lagi kalian berkunjung ke Banyumas ? 
Share:

Juli 04, 2015

5 hari 24 jam - Jelajah Wisata Banyumas

Tonton videonya dulu yuk !! Oke ? Okelah yak .
5 hari 24 jam - Jelajah Banyumas Yuk


5 hari berlalu saya mengeksplore beberapa tempat menarik yang ada di sekitar Purwokerto (Banyumas). Hampir 24 jam pun akan berlalu. Mengulik video perjalanan dan sekarang saya menulis blog ini untuk mengabarkan keindahan wisata Banyumas. Tentunya pula turut berpartisipasi dalam Lomba Utama Blog Jateng 2015 dengan periode terakhirnya yang sayang untuk dilewatkan. Dengan tema Cinta Wisata Jawa Tengah ini, saya mengulik tempat wisata di daerah saya sendiri. Tujuannya agar semua orang tahu dan segera berkunjung, kesini, Banyumas dengan Purwokerto-nya yang semakin berkembang, banyak terdapat potensi pariwisata yang beragam, dari wisata alam, wisata budaya, wisata belanja dan kuliner, wisata sejarah (museum), wisata religi, dan wisata buatan yang masih relatif sedikit jumlahnya.

*** 
Satu tempat yang sejak lama ingin saya kunjungi terletak di Desa Cikakak, Wangon. Untuk menuju kesana dari Purwokerto sekitar 1 jam melewati Ajibarang. Kebetulan sekali, seorang teman saya dari Jogja mengajak jalan-jalan. Waktu yang tepat untuk mencari pengalaman berpetualang.


Curug Cipendok
Tujuan pertama kami yaitu Curug Cipendok. Air terjun ini memiliki ketinggian lebih 90 meter. Tiket masuk per Juni 2015 sebesar Rp 7.000/orang , Rp1.000/motor, dan retribusi parkir Rp3.000. Memasuki tempat parkiran sampai dengan jalanan berbatu, rupanya masih sama saat pertama kali saya kesana pada tahun 2012. Bedanya dibuat jalur baru saat akan turun menuju curugnya. Debit airnya pun sama, mengalir deras ke bawah jatuh menabrak bebatuan. Berterbangan kemana-mana. Bahkan jarak 10 meter jaket saya lama-kelamaan basah juga. Sesekali terlihat efek pelangin muncul. Tidak ramai orang yang berkunjung saat itu, beberapa wisatawan lokal dan seorang bule yang memancing disana. Saya mencoba turun di aliran airnya, rasanya seperti air es. Dingin sekali. 


Bunga di tepi jalan
Sepulangnya kami melewati jalur bawah yang lebih jauh dibandingkan lewat atas. Untungnya di sepanjang jalan, tumbuhan bunga berwarna pink menghiasi wilayah hutan itu. Tumbuhan tropis lebat menutupi bagian atasnya. Cahaya matahari tidak menembus dedaunan. Benar-benar sepi. Hingga akhirnya bertemu dengan pasangan yang sedang duduk di bawah pohon. Apabila melewati jalur bawah jaraknya sekitar 1 km (30 menit) dengan kontur jalan menurun juga menanjak. Sedangkan kalau lewat atas sekitar 15 menit saja. Terbayang di pikiran saya, curug ini memilki karakter yang sama dengan Coban Rondo di Kota Batu. Berada di hutan tropis, air mengalir dari ketinggian di antara sisi tebing, dan aliran air yang dangkal. Bedanya, kalau disana pengunjungnya sudah banyak dengan warung berjejeran di tempat parkiran yang penuh dengan bus-bus pariwisata. Hal itu didukung dengan akses jalan yang layak. Sementara jalan ke Curug Cipendok ketika melewati Desa Karangtengah, ada jalanan rusak parah dan berlubang lebih dari 1 km. Memang ada jalan alternatif melalui Desa Tumiyang, Pekuncen. Hanya saja lebih jauh dan memutar. Semoga saja pemerintahan terkait segera membangun akses jalan yang layak untuk memajukan wisata alam di Cipendok

Perbukitan
Kala itu, kami melewati Desa Tumiyang dan mampir ke bukit dimana saya bertemu dengan anak-anak yang bermain layangan di atas bukit. Ada beberapa pasangan menikmati semilir angin sejuk di tempat itu. Awan tipis gelap tepat di atas kami. Saya melihat beberapa bekas pembakaran. Jumlahnya pun lebih dari satu. Sepertinya bekas orang camping. Sepele sih, mungkin tanaman disitu hanya rerumputan, tapi sampah seperti puntung rokok kan lama terurainya. Bukit disitu memang menawarkan pemandangan yang lumayan bagus dengan view peternakan sapi dan dataran rendah di bagian selatan. Teman saya bilang, bukitnya mirip Hobbiton, tempat tinggalnya Frodo & Bilbo Bagins. Hehehe.





Gak tanggung jawab. Sepele.
Melanjutkan ke destinasi impian saya, Masjid Sakatunggal dan Taman Kera. Jarak tempuh dari Ajibarang cukup dekat. Hanya saja kami kurang tahu persis dimana lokasinya. Mengandalkan GPS, kami sempat salah jalan dengan jalan buntu dan di seberang sungai terlihat masjid tersebut. Kami hanya tertawa di ujung jalan dan memutar balik. Sampai di gerbang masuk, ibu-ibu menyodorkan tiket masuk dengan mematok harga sekaligus menawarkan kacang dan pisang (barang dagangannya) sebesar Rp10.000 termasuk 5 bungkus kacang. Memasuki wilayah tersebut, puluhan kera berkerumun di jalanan, ada yang langsung mengambil pisang di motor pengunjung di depan kami. Sepertinya kera-kera itu kelaparan. Buktinya saja, dalam berita salah satu program televisi Trans (4/7-2015), kera-kera tersebut merusak rumah warga dan mengambil makanan. Kasian. 
Gerbang Masuk

Kami langsung menuju ke masjid dengan tulisan Jami’ Baitussalam di bagian atas masjid. Kera mendekati kami yang baru saja turun dari motor. Langsung saja saya beri kacang. Mereka berebutan. Ada satu kera yang paling besar yang sepertinya penguasa area itu. Tak jarang kera-kera tersebut berkejaran satu sama lain.


Masjid Sakatunggal Baitussalam

Ibu penjual kacang pun mendekati kami dengan menawarkan dagangannya. Saya melihat seorang kakek memegang sapu tiduran di lantai masjid bagian luar. Masjid itu masih tampak kuno sebab termasuk cagar bangunan yang dilindungi keberadaanya. Masjid dengan arsitek jawa, berdinding beton dengan pintu dan jendela kayu, beratapkan seng itu memiliki tiga ruangan. Ruangan paling depan (utama) dengan satu tiang berdiri di bagian tengahnya menyanggah bagian atap, bertuliskan angka 1288 (tulisan arab), bedug di sisi kanan, lembaran ayat Al-Qur’an dalam bingkai di bagian depan yang tampak robek. Ruangan sebelah kiri tempat untuk ibadah wanita. Sementara ruangan paling belakang sepertinya untuk mengaji karena terdapat Al-Qur’an. Di sekitaran masjid ini terdapat beberapa rumah yang masih terjaga kelestariannya. Di sisi baratnya terdapat makam. Akhirnya saya berhasil mengunjungi masjid tertua itu. Kami pun pulang. Mampir ke warung soto kriyik yang membuat saya penasaran setelah melihat postingan di sosial media teman saya.

***



Hayo mau kemana? Simak dulu petanya.

Esok harinya, saya berencana merelaksasikan badan di Pancuran Tujuh, Baturraden. Saya kesana bersama dua teman saya, Adit & Wildan. Kami melewati jalur belakang. Melalui Desa Ketenger. Pertama melewati pipa air, lalu pematang sawah di sisinya. Bukit dengan pohon pinus di sebelah kiri tempat dimana outbond makrab Pramuka sewaktu SMA. Kami pun bertemu dengan orang-orang sehabis camping. Tak jauh melewati tangga, sampailah di Kolam Tando Harian peninggalan Belanda. Menyebrangi jembatan yang airnya digunakan PLTA milik Indonesia Power dan mulai memasuki wilayah hutan. Terus mengikuti jalanan sampai bertemu dengan sungai yang tak jauh dari tebing belerang. Airnya jernih dan bersih. Berasal dari hulu kaki Gunung Slamet.


Pancuran Tujuh

Disana kami langsung mandi di Goa Selirang. Merasakan hangatnya campuran air panas yang sudah bercampur dengan mata air dengan kandungan sulfur. Benar-benar nikmat. Pijat gratis di bawah aliran air yang mengalir. Kami menikmati relaksasi setelah berjalan cukup jauh. Tidak lama, kami naik ke atas lagi ke Pancuran Tujuh. Di sisi tebing, lumut berekosistem dengan subur. Sungguh mempercantik tempat itu.

Ande-ande Lumut 

Suasana di atas cukup ramai dengan kunjungan wisawatan. Ada yang pijat dengan belerang, berfoto di pancuran tersebut, piknik bersama keluarga, dan tentunya mengabadikan momen. Ada pula fasilitas berendam air hangat di kamar ganti yang disediakan dengan membayar Rp5.000 saja. Di dekat pancuran tersebut, ada tempat keramat (makam) Mbah Atas Angin. Terlihat sesaji di bagian depan dan didalamnya. Tidak lama menikmati perjalanan hari itu, kami pun pulang membawa kenangan, kebahagiaan dan Adit membawa sebungkus belerang.

Onsen ala Baturraden

***


Kegiatan saya hari ini diisi dengan ngabuburit keliling Purwokerto. Dari rumah, saya menuju ke arah Margono ke Monumen Gatot Subroto. Patung Jenderal Gatot Subroto terlihat gagah menaiki kuda, memakai seragam kemiliteran dan memegang tali pelana, dan kuda mengangkat satu kaki, bisa diartikan sang jenderal hanya mengalami luka saat perang melawan Belanda. Kemudian saya melanjutkan ke arah Tugu Adipura Kencana. Tugu dengan wajah baru tersebut memiliki air mancur dengan lampu warna-warni yang menyala anggun di malam hari. Terlihat seperti menari-menari. Memang terlihat menarik. Bahkan sering mengundang ketertarikan anak-anak bermain di sekitaran tugu tersebut. Tidak lama saya berhenti disana, saya menuju ke Monumen Estafet di depan Taman Andhang Pangrenan. Monumen tersebut mengartikan terkait pemberian tongkat estafet kepada anak muda yang bernilai akan pemberian tanggung jawab dari generasi terdahulu ke generasi sekarang agar tetap semangat membangun bangsa yang lebih maju.
Alun-alun Purwokerto

Kemudian mengarah ke Alun-Alun. Seperti biasa, banyak orang-orang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman disana. Apalagi bulan puasa, selagi menunggu buka, sekaligus ngabuburit. Ada yang naik kuda, berfoto di dekat air mancur, anak-anak bermain riang, dan ada juga yang sekedar santai. Lalu menuju ke depan Museum BRI, tampak patung Raden A. Wiryaatmaja, pendiri koperasi (De Purwokertosche Hulp en Spaarbank der Irlansdche) pertama di Indonesia (cikal bakal Bank BRI). Di dalam museum tersebut terdapat replika bangunan gedung BRI di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya. Banyak koleksi uang dan alat hitung/mesin zaman dahulu. Selanjutnya mengarah ke Jalan Merdeka, ada bangunan yang cukup menarik perhatian, ialah Masjid Soedirman. Sebuah bangunan berarsitektur megah. Tak kalah megah dan desain yang menarik, Masjid Tujuh Belas berdiri kokoh di depan SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto.


Payung Lampion di Taman Lalu Lintas
Malam harinya, saya menuju ke Terminal Bulupitu. Disana sedang dibangun sebuah Taman Lalu Lintas Anak Bangsa. Sebagian area yang termasuk dalam kawasan terminal sudah selesai dan sering digunakan untuk nongkrong anak-anak, muda-mudi, hingga orang dewasa. Terdapat fasilitas bermain anak-anak, panduan berlalu-lintas yang benar, dan payung lampion yang menyala sehabis maghrib. Sejak dibuat hingga sekarang fasilitas ini masih selalu ramai dikunjungi anak muda sekedar berfoto dengan latar payung lampion tersebut. Saya disana hanya merekam beberapa momen, kemudian berlalu melewati Andhang Pangrenan. Rupanya di depan taman tersebut, banyak pula anak muda nongkrong di sekitaran taman itu. Tujuan utama saya adalah Alun-Alun Purwokerto. Biasanya orang-orang segala usia banyak berkumpul disana ketika malam hari. Ada banyak jajanan dijual disana. Ada mainan untuk anak-anak, ada pula pengamen, badut, pengemis, dan tentunya air mancur yang menyala. Belum lagi pemandangan bangunan tinggi tepat di depan alun-alun yang akan dijadikan pusat perbelanjaan. Suasana disana ramai kendaraan berlalu-lalang. Saya pun mengabadikan momen disana.

***
Hari keempat. Tidak sah rasanya kalau hanya mengeksplore sekitar Purwokerto saja. Saya rindu dengan momen senja di satu titik antara di Rawalo dan Kebasen. Tepatnya Sungai Serayu. Sungai legendaris yang mengalir dari Wonosobo hingga Cilacap dengan panjang 181 km. Menuju tempat ini melalui Patikraja adalah kesukaan saya. View yang bagus dimana jalan bersebelahan langsung dengan sungai. Ada pemandangan pohon pinus di atas bukit. Rel kereta api menambah nilai keindahan tempat itu. Belum lagi ketika mendapatkan momen yang tepat saat senja, ketika kereta api melewati jembatan di atas sungai tersebut. Momen yang sangat menarik untuk diabadikan.

Bendung Gerak Serayu

Ketika itu, saya berangkat siang hari. Kebetulan, cuaca sedang cerah. Komposisi awan tertata menggumpal rapi sedikit-sedikit. Tepat di pinggir jalan, saya berhenti memperhatikan orang-orang memancing ikan di sungai itu. Nampaknya mereka sebuah komunitas, sebab terlihat mobil dengan identitas suatu komunitas tertentu terparkir. Saya menunggu kereta menyebrangi jembatan namun tak kunjung lewat. Akhirnya saya beranjak ke bendungan. Disana saya berhenti lagi. Mengambil gambar dan video. Debit airnya tidak terlalu deras, kemungkinan karena sedang dalam musim kemarau. Saya pun menyebrangi jembatan kecil di atas bendungan tersebut yang hanya cukup dilewati satu motor. Sesampainya di seberang daratan, kereta api lewat tepat di depan saya mengarah ke selatan. Saya sempat mengambil gambar namun hanya sebentar. Rasa penasaran saya untuk melewati jalanan wilayah Kebasen. Disana terdapat terowongan kecil. Ada pula warung menjajakan kelapa muda di pinggiran sungai itu.

Terowongan Kebasen

Keinginan masih berlanjut. Saya menuju Banyumas melewati Papringan. Kawasan sentra batik di Banyumas. Ini pertama kalinya saya melewati wilayah itu. Saya melihat kanan kiri, berharap menemukan ada orang yang sedang membatik. Sepanjang jalan, saya tidak menemukannya satu pun. Hanya ada, galeri batik yang sedang dibangun, dan satunya lagi tutup. Sayang sekali.

Kayunya kokoh
Sampai di Kota Lama Banyumas. Alun-Alun Banyumas kondisinya berantakan. Pohon-pohon sejenis palem ditebang dan batangnya jatuh di tengah alun-alun dengan rumput yang tidak terawat itu. Saya singgah ke Masjid Nur Sulaiman. Cagar budaya yang masih terjaga baik bentuk dan nilai seninya. Bangunan bergaya jawa, dengan latar di bagian depannya, seperti pendopo. Memasuki masjid ini rasanya adem dan tenang. Sehabis sholat dan membaca Al-Qur’an sebentar, saya memperhatikan rangka bangunan masjid tersebut. Kayu jati berwarna coklat memperkokoh bagian tiang, rangka atap, dan ornamen pintu maupun jendela. Saking betahnya di masjid itu, banyak orang duduk dan sekedar istirahat di bagian latarnya.


Tujuan selanjutnya adalah ke Museum Wayang yang terletak di area Pendopo Kecamatan Banyumas. Sayang sekali, ketika hendak mengambil gambar, handphone saya low battery. Akhirnya saya mengakhiri jelajah hari itu. Sayang rasanya kalau tidak bisa mengambil gambar/video.

***
Keesokan harinya, saya memilih Lokawisata Baturraden sebagai tempat terakhir saya menjelajah Banyumas. Tiket masuk per Juni 2015 Rp14.000/orang, dengan jam buka mulai pukul 6.00 WIB. Banyak wahana bisa kita temukan disini. Ada kolam renang, pemandian air hangat, cascade (air mancur), Air Terjun Gemawang, sepeda air, pesawat, dan Pancuran Tiga.

Welcome to Baturraden
Baturraden memang menjadi lokasi paling adem, tenang, dan nyaman di Purwokerto. Selain tempatnya sejuk, pemandangan disana dapat menenangkan hati dan pikiran. Tidak salah kalau Baturraden menjadi wisata pilihan bersama keluarga maupun teman.

Tidak banyak yang saya lakukan selama disana. Hanya melihat-lihat pemandangan dari atas jembatan dan berkeliling santai. Kebetulan pula, kunjungan wisatawan sedang sepi. Rasanya benar-benar seperti taman milik sendiri.

***


Banyumas punya banyak pilihan wisata yang bisa dikunjungi. Dipastikan lebih dari 5 hari untuk dapat mengunjungi semua obyek/tempat wisata yang ada. Perubahan setelah adanya city branding : Better Banyumas (Banyumas lebih baik) semoga pemerintahan semakin gencar mempromosikan potensi wisata, menyebarkan kalau memang benar Banyumas itu lebih baik untuk dikunjungi, mengajak masyarakat semakin sadar wisata, dan membangun infrastruktur lebih baik lagi. Saya mendukung kemajuan wisata daerah dan apresiasi dengan pembuatan plang wisata. Semoga menjadi langkah awal kesiapan sektor pariwisata Banyumas. Terlebih, akan direvitalisasinya jalur kereta api Purwokerto - Wonosobo pada masa mendatang, seharusnya semua elemen mulai membenahi dan mempersiapkan ketika nantinya Banyumas menjadi kota wisata seperti Kota Batu, Malang, dan Bali dengan tetap menjaga kelangsungan ekosistem alam, tradisi dan budayanya. Salam Pariwisata !!

Banner Lomba Utama


Share:

Instagram