November 21, 2017

CERITA DI BATAS NEGERI (II)

Daratan Teluk Nipah
Kegiatan pagi di hari keempat diawali dengan melakukan jalan santai bersama adik-adik di Teluk Nipah. Adik-adik membawa kami menuju pemukiman yang jaraknya lumayan jauh di arah bekas pertambangan bauksit. Berjalan hampir setengah jam lamanya. Disana kami singgah di salah satu rumah warga. Beramah-tamah, lalu memetik buah kelapa di depan rumahnya untuk dimakan bareng adik-adik. Rupanya awan mendung pagi itu menurunkan hujan yang cukup deras. Disana kami menunggu reda untuk pulang. Jalanan basah. Tanah merah setapak yang kami lewati digenangi air. Sedikit menanjak dan menurun. Hanya tumbuhan semak belukar di sekelilingnya. 

Menunngu reda sehabis makan es degan
Pada siang harinya, kami menyiapkan properti kecil yang akan kami gunakan saat aksi bersih pantai esok. Membuat tong sampah dari bekas jerigen besar. Memotong papan kayu untuk plang pantai. Mengecat dan membuat tulisannya.
Tempat sampah dari jerigen bekas
Menyiapkan plang kayu untuk aksi bersih pantai

Kegiatan hari kelima merupakan aksi paling menyenangkan bagiku. Hari itu kami semua berkunjung ke Desa Posek yang berjarak hampir satu jam menaiki perahu. Disana, kami melakukan aksi bersih pantai, beberapa mengisi kelas di SDN 005 dan gotong royong bersama warga sekitar untuk membuka jalur menuju ke pantai dan memberikan pernak-pernik di pantai agar semakin menarik dikunjungi. Selengkapnya baca cerita perjalanan kami pada tulisan berikut Pantai Obak, Surga Tersembunyi di Kepulauan Riau.

Hari ke Enam

Nelayan tradisional sedang menambal pompongnya yang bolong
Suara palu memukul-mukul kayu di dekat rumah yang kami tinggali. Lalu aku mendekati seorang bapak nelayan yang sedang menambal perahu pompongnya. Ku amati bapak itu memegang perekat kayu berwarna kehitaman dengan tali temali yang dimasukkan ke sela-sela bagian kayu yang berlubang. Perekat itu rupanya getah damar batu. Cukup lama aku mendengarkan cerita bapak itu yang kesehariannya pergi melaut sebagai nelayan. Dari cerita yang ku dengarkan, nelayan tradisional disana memiliki masalah seperti adanya penggunaan trawl (pukat harimau) oleh nelayan dengan kapal besar. Dikarenakan pukat tersebut menangkap biota laut yang ada di bawah sana secara masif. Jika dibandingkan nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap jaring lain, mereka mengalami keterbatasan penangkapan hasil laut yang cenderung lebih effortless karena sumber ikan dapat habis jika ditangkap oleh nelayan yang menggunakan trawl. Hal ini pula, terkadang menimbulkan konflik horizontal diantara nelayan.

Menjelang siang, aku bersama Bagus, Depoy dan Pusyu pergi ke Pulau Mas untuk bertemu Pak Kades. Disana, kami menyempatkan singgah ke kantor Desa Posek sebentar. Kantor desanya sangat sepi. Hanya ada dua orang pegawai yang duduk santai di ruang utama. Kemudian kami melakukan wawancara dengan ibu-ibu yang kesehariannya menunggu hasil tangkap udang dan ikan di tempat pengepulan. Ibu-ibu itu mengupas kepala udang dengan upah seribu rupiah per satu kilo udang yang dikupas. Pendapatannya tidak tentu tergantung hasil tangkap nelayan. Terkadang pula memotong ikan hiu. Dengan upah yang didapat sekitar seribu hingga sepuluh ribu rupiah per hari. Sungguh miris sekali.

Kantor Desa Posek

Ibu-ibu sedang mengupas kepala udang 
Menyisir ke salah satu rumah warga. Kami menuju ke rumah seorang kakek tua yang sudah cukup berumur. Kake Soot namanya. Tinggal di rumahnya yang sudah reyot. Ia tinggal bersama anak dan cucunya. Kesehariannnya bergantung kapada anaknya. Kami memasuki rumah kakek ini yang rupa bentuknya sudah tidak layak sekali. Atap bagian belakang rumahnya sudah tidak lagi tertutup. Kemudian papan kayu lantai juga bolong-bolong. Hanya di bagian depan saja yang masih sedikit lebih layak. Disitu terdapat kasur, baju-baju menggantung, dan bebera pa alat makan tergeletak. Berikut video wawancara bersama kakek tersebut.
Rumah kurang layak huni milik Kakek Soot
Sore harinya, saya dan yang lain kembali ke Teluk Nipah. Kegiatan selanjutnya membagikan pakaian layak pakai yang diberikan kepada beberapa warga yang sudah dikoordinasikan kepada ketua RT maupaun RW kepada siapa saja yang layak untuk menerima bantuan tersebut. Kegiatan lainnya pada hari ke enam adalah tim kesehatan melakukan sosialisasi di posyandu. Kak Titan dan Kak Anggi memberikan materi seputar GERMAS, gizi seimbang dan pentingnya ASI untuk bayi. Sementara kegiatan lain menjelang sore hari tim pendidikan yang digawangi oleh Novi dkk membuat pohon mimpi bersama adik-adik di sela agenda rutin program English Fun di dermaga. Kegiatan rutin lainnya adalah Mengaji BersamaMu yang biasa dipandu oleh Pusyu, Suju, Dina, Ervina, dan beberapa peserta ikhwan sehabis sholat maghrib.

Donasi pakaian layak pakai


Sosialisasi kesehatan di Posyandu
Pengajian bersama adik-adik

Hari ke Tujuh

Kegiatan hari ini adalah berkebun menanam sayuran di tanah kebun milik warga. Membabat rerumputan yang memenuhi kebun. Kebun ini hanya ditumbuhi tanaman berupa terong hijau, bayam dan mentimun. Tanahnya berwarna merah kecoklatan entah jenis tanah laterit atau liat.
Aksi berkebun
Sementara kawan-kawan menyebar benih di kebun. Aku bersama Bagus kembali menuju Pulau Mas untuk menggali informasi di pabrik es sekaligus tempat pengepul ikan. Banyak sekali informasi yang kami dapatkan selama disana. Tempat penampungan ikan ini dijadikan tempat pengepul hasil tangkapan nelayan-nelayan di sekitar Kepulauan Posek. Silih berganti kapal-kapal kayu bongkar muat. Sekiranya saja ada yang hanya membeli pasokan es batu yang dimasukkan ke dalam kotak berwarna kuning. Lalu aktivitas lain tentang pengemasan ikan-ikan yang hendak dikirim ke tempat pelelengan yang lebih besar ke Penuba untuk selanjutnya diekspor ke Singapura maupun Malaysia. Tempat yang hiruk pikuk sekali. Suara mesin pemecah es dengan roda penggerak yang menyambung dari arah pabrik. Mesin kapal yang bersandar seperti meletup-letup. Para pekerja sibuk melakukan aktivitas mereka. Ada yang sedang mengemas ikan-ikan di dalam kotak, lalu ditimbunnya dengan pecahan es agar tetap fresh. Ada yang memindahkan kotak ke dalam kapal dengan alat seperi crane kecil yang berada di kapal. Seorang lain seperti mandor yang mengawasi. Ia memegang kertas nota ketika ada kapal yang datang merapat. Ada pula juru hitung (kasir) di tengah-tengah biduk yang dibuat seperti loket terbuka. Pekerja lain ibu-ibu yang duduk manis menunggu datangnya hasil tangkapan udang dan ikan. Pekerja lepas ini biasa mengupas kepala udang dengan upah seribu per satu kilogram udang. Sesekali nelayan-nelayan datang membawa hasil tangkapan mereka. Di tempat ini pula, kami mendengar cerita berbeda terkait penggunaan trawl yang dilarang oleh pemerintah. Mungkin karena nelayan disini memiliki tonase kapal yang besar sehingga lebih pro terhadap adanya trawl dengan penjelasan lapangan yang mereka temui. Mereka juga resah dengan aksi penangkapan dan penahanan beberapa nelayan beberapa bulan lalu akibat penggunaan trawl sementara sosialisasi dari pemerintah sendiri mengenai prosedur dan pelaksanaan terkait regulasi kelautan belum terdengar jelas alias masih abu-abu. Mereka merasakan pemerintah acuh terhadap kehidupan nelayan di batas maritim yang seharsunya diperhatikan lebih sebab mereka sebagai garda terdepan yang tinggal dan menjaga pulau-pulau terdepan, terluar dan tertinggal Indonesia.
Trawl 
Ikan hasil tangkap nelayan siap dikirm ke negara tetangga

Aktivitas pekerja pabrik dan pengepul ikan, bongkar muat kotak-kotak berisi hasil tangkapan laut

Siang harinya, kami sebentar membantu warga di Pulau Mas memotong dahan pohon besar yang ditebang untuk pendirian tiang listrik yang akan dibangun disana. Listrik sendiri sudah diajukan sejak 2010. Setelah 72 tahun paska kemerdekaan baru lah tiang-tiang akan mulai dibangun. Sebelumnya mereka belum merasakan fasilitas listrik negara. Hanya sebagain warga menggunakan genset dengan bahan baku solar yang biasa dipakai beberapa jam saja menjelang malam.

Goro memotong dahan pohon
Tiba di malam terakhir di Teluk Nipah. Sehabis melakukan pengajian ba’da maghrib. Suasana mendadak melow sekali. Adik-adik mengerumuni kami satu per satu. Sebagian menulis surat. Membujuk kami agar tetap tinggal. Selepas adik-adik pulang, kami habiskan dengan mereview dan memberi ruang memori kebersamaan atas kegiatan yang telah kami lakukan selama disana.

Hari ini memasuki tahun baru 1439 hijriyah. Hari ini pula sebagai hari terakhir bagi kami. Pagi-pagi,  kami mengikuti acara syukuran di masjid. Memanjatkan doa-doa mengawali hari pertama di tahun baru. Kemudian menikmati makanan yang dibawa masing-masing warga. Seselesainya kami semua saling bersalaman, berpamitan, dan menuju dermaga untuk pulang. 

Syukuran Tahun Baru Hijriyah 1439
Pamitan kepada warga Teluk Nipah
Kepulangan diiringi ramainya warga dan anak-anak yang berkumpul mengantarkan kepulangan kami di ujung dermaga. Adik-adik histeris dan merasa sedih karena kami akan pergi meninggalkan mereka. Mereka meminta agar kami dapat datang kembali. Kami mengabadikan foto bersama-sama. Berterimakasih. Menghaturkan kata maaf dan selamat tinggal. Selesai sudah misi kami melaksanakan ENJ 2017. Ya, kegiatan kami telah selesai. Kami harus pulang. Perahu pun mulai berlayar. Sembari menyanyikan mars ENJ. Dadah-dadah ke warga. Mereka pun membalas salam perpisahan kami disana. Selamat tinggal Teluk Nipah. Selamat tinggal Kepulauan Posek.

Kenangan terakhir di dermaga
Warga melepas kepergian kami


Mengantarkan di ujng dermaga

Tiba di Muara Sungai Buluh
Share:

CERITA DI BATAS NEGERI (I)

Lautan Kepulauan Posek
INDONESIA, negara maritim yang letaknya sentral berada diantara dua samudera, Hindia dan Pasifik. Memiliki total pulau yang telah diakui PBB dalam UNCSGN sekitar 16.056 dari total pulau sebanyak 17.504. Dengan potensi lautnya yang sangat besar, sudah sangat urgent sekali apabila Indonesia tidak hanya membangun wilayahnya di darat saja, namun yang sangat penting adalah wilayah lautnya yang juga perlu dijaga dan dikembangkan. Terkait konetivitas, infrstruktur, keamanan militer, peraturan kelautan dan hal lain yang menunjang negeri ini kembali mencapai kejayaannya di mana nenek moyang kita dulunya juga adalah seorang pelaut. Di lautan kita berjaya, Jalesveva Jayamahe. Mari mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Oke, saya mengawali beberapa opini berdasarkan fakta yang saya temui di Teluk Nipah, sebuah pulau kecil di wilayah perairan Kecamatan Kepualauan Posek, Kabupaten Lingga, Kepualauan Riau. Mengapa hal tersebut menjadi penting sekali? Sebab akan percuma potensi kelautan yang begitu banyak belum dimanfaatkan secara berkelanjutan. Masih banyak sekali masalah akibat keterbatasam yang ditemukan. Regulasi penangkapan ikan di laut, pengembangan pusat perekonomian yang belum memadai, infrastuktur belum layak, dan dukungan dari pemerintah belum cukup masif. Padahal menurut hemat saya, seharusnya pemerintah memulai dengan membenahi apa yang ada di masyarakat. Membangun pondasi yang kuat lebih dahulu dari elemen masyarakat sehingga gaungan poros maritim dunia tidak hanya ilusi belaka bisa untuk dicapai. Aamiin.

ENJ, Bersama Membangun Negeri
Kedatangan hari pertama kami di Teluk Nipah diisi dengan mengenali lingkungan sekitar, bersosialisasi dan menggali informasi yang dapat digali dari para warga. Disana sumber air bersih sangat terbatas, tidak ada jaringan listrik, tidak ada kamar mandi umum, di mana rumah warga memiliki toilet terbang di atas pesisir, tidak ada pasar (pusat kegiatan ekonomi). Beruntungnya disana sudah masuk jaringan salah satu provider milik negara. Di depan rumah, ada beberapa sumur galian sebagai tampungan cadangan air. Kemudian tiga sumur kecil (kubangan air) yang letaknya di dekat hutan. Hanya ada beberapa SD dan SMP yang tersebar di beberapa pulau.

Di Teluk Nipah sendiri hanya ada satu sekolahan. Saat kami melakukan survei kesana. Kami tidak diterima baik oleh guru dan kepala sekolah dengan alasan beberapa bangunan sekolah mereka sedang direnovasi. Ada kejanggalan yang kami dapatkan ketika meminta izin masuk agar bisa memberikan program kepada anak-anak. Tak dinyana, dari informasi yang didapatkan warga, pada tahun 2015 sekolah dasar yang tersebut pernah diprotes (ditutup) oleh orang tua murid sebab guru-guru yang mengajar sering bolos kerja. Miris sekali.

Sudah hari ketiga. Lepas subuh, jingga sinar matahari terbit di belakang rumah yang kami tinggali. Ronanya sangat indah sekali menyoroti air lautan yang bernafas tenang. Belum ada ombak kala itu. Bahkan surutnya air menyisakan beberapa area pesisir seperti tanah basah. Semalam hujan turut membersihkan ruang udara sedikit menyisakan gumpalan awan kelabu. Mulai terdengar aktivitas pagi itu. Suara-suara hewan kecil. Suara mesin perahu sumbang terdengar. Tangisan anak kecil di seberang rumah. 

View belakang rumah tinggal 
Kami sarapan di warung dekat sekolahan. Nasi dengan sotong sambal seharga lima ribu rupiah. Warung ini pula menjual hanya satu jenis gorengan, yaitu keledek (ubi goreng). Ubinya dibeli di Dabo. Kemudian bersiap-siap menuju ke dermaga untuk menyebrang ke Pulau Mas Bangsal. Tidak lama Pak Kadus menjemput dengan perahu miliknya. Jarak antar kedua pulau ini sekitar 20 menit perjalanan laut. Perahu yang kami tumpangi berhenti di rumah belakang rumah Pak Kades. Satu persatu kami naik ke area rumahnya dengan membawa barang donasi yang akan diserahkan ke pihak sekolah.
Ini loh nasi sotong & keledek
Program pertama yang dilakukan adalah mengisi kelas kemaritiman di SDN 002 dan SMP N 2 Kepulauan Posek. Beruntung sekali sekolahan ini mengizinkan kami untuk masuk mengisi kelas. Awalnya diisi dengan senam bersama. Kemudian materi kemaritiman terkait letak geografis Indonesia yang hampir 2/3 wilayahnya merupakan wilayah laut dengan media pembelajaran peta Indonesia. Menguatkan pula bahwa mereka (adik-adik) tinggal di pulau batas negeri yang harus menjaga segala potensi lautnya. Ada pula program gerakan mencuci tangan yang ditujukan untuk anak SD. Membuat rumah baca dengan menghias ruangan perpustakaan dan menambah koleksi buku hasil donasi. Sebagian pula memberikannya kepada anak-anak. Sebenarnya mereka aktif dan berani, hanya saja keterbatasan mengkungkung pola belajar mereka yang masih serba terbatas.
SDN 002 Kepulauan Posek di Pulau Mas Bangsal
Kelas Maritim di SDN 002 Kepulauan Posek

Kelas Maritim di SMPN 2 Kepulauan Posek
Selesai mengajar, kami makan bersama. Nasi padang menjadi hidangan yang dirindukan. Sebab menu makanan ini berbeda dari biasanya. Dua hari kemarin, ibu tukang masak di rumah tinggal selalu memasak menu makanan laut. Menu wajibnya adalah udang. Tiada hari tanpa udang. Alhamdulillah sih, aku doyan banget seafood. Apalagi udangnya masih segar. Hanya direbus saja kemudian dicocol sambal yang khas rasanya. Sampai ada kejadian lucu sebelum kami mengajar adik-adik. Beberapa dari kami secara bergantian mengalami perut mules. Sebagian bolak-balik ke toilet. Lantas tragedi nasi sotong menjadi sebutan kenangan fenomena yang barusan kami alami. Jelasnya, dengan menjadi masyarakat pesisir, kami mulai terbiasa memakan hasil tangkapan laut sebagai hidangan sehari-hari. Ikan, udang, kepiting, sotong, cumi-cumi, dan entah apalagi.
Adik-adik menggambar Peta Indonesia
Kenangan bersama adik-adik dan guru SD



Kenangan bersama guru SMP
Setelah tragedi nasi sotong. Perjalanan dilanjutkan ke rumah Pak Kades kembali. Aku dan beberapa kawan sudah berjalan duluan. Tiba-tiba di belakang kami, kawan-kawan lain beramai-ramai meributkan seorang teman kami yang jatuh terpeleset sampai kakinya keseleo. Ternyata si teteh yang terpongkeng. Lantas ia dijuluki dengan sebutan si terpongkeng.  

Di rumah Pak Masmin, kami beristirahat. Tidak berapa lama, sudah dinyana. Kami sudah dimasakkan hidangan makan siang. Baru saja nasi padang itu turun dari tenggorokan. Entah rezeki mana lagi yang kami dustakan. Kami terus dijamu disana. Mau tak mau, kami makan bersama lagi. Lauknya adalah udang rebus, yeay. Satu hal yang tidak biasa didengar sebelumnya. Ketika Pak Kades mengatakan, “tadi sudah disiapkan untuk makan sarapan”. Padahal waktu sudah menunjukkan siang hari. Dengan spontan, seorang dari kami menjawab,“sudah siang Pak. Sarapan?”. Aku pun tidak tahu apakah warga disana mengatakan hal tentang makan dengan sebutan sarapan tanpa mengenal waktu pelaksanaannya. Entahlah.

Enak udangnya. Manis.
Menjelang sore, kami hendak diantarkan pulang ke Teluk Nipah. Sebelum pulang, kami menuju ke Pulau Mas Kecil untuk menghadiri undangan pernikahan di rumah warga. Pak Kades membawa kami kesana. Begitu turun dari perahu, Bagus terperosok jatuh di antara perahu-perahu yang tertambat di dermaga. Apakah sepertinya dia sudah tidak sabar untuk makan lagi. Entahlah. Aku hanya tertawa kecil ketika mengabadikannya dalam kameraku.
Wkwk Bagus terpongkeng
Kami berjalan memasuki pulau kecil yang diapit dengan dua pulau seperti selat. Banyak orang berkumpul disana. Beberapa tenda dengan kursi. Ada organ tunggal di mana lagu dangdut sedang diinyanyikan. Setelah melewati masjid. Semua orang disana tertuju ke arah kami yang berjalan serombongan. Kami dipersilahkan antri mengambil makanan yang disajikan. Adatnya memang seperti itu. Setelah makan kemudian, baru menyalami sang pengantin. Sehabis makan, kami diajak mengisi suara dangdutan di depan. Awalnya kami malu-malu. Setelah diundang berkali-kali. Hingga Viqacu ditarik oleh Bidan Reta yang sedang melantukan suaranya sembari bergoyang heboh diantara adik-adik yang juga asik menikmatinya. Aku pun baru tahu, nyatanya musik dangdut sudah menjadi tradisi pesta pernikahan di hampir seluruh negeri ini. Awalnya aku mengira bahwa lagu-lagu yang ditembangkan adalah lagu melayu. Ternyata lagu-lagu lawas dan dangdut yang sedang tren. Pada akhirnya, setelah diundang berkali-kali untuk mengisi lagu. Sabar maju ke depan menyanyi bersama Bidan Reta. Mereka menyanyikan lagu melayu, setelahnya lagu itu menjadi lagu yang sering dinyanyikan selama masa pengabdian selain mars Per*ndo yang sering diramaikan oleh Ical. Tidak lama, kami menyalami sang pemilik pesta. Lalu berpamitan pulang. Mengakhiri kegiatan kami hari itu dengan perut teramat kenyang.
Kondangan. Makan terus. Kenyang.

Share:

BERLAYAR MENUJU KEPULAUAN POSEK

Pelepasan di kampus UIB
Hari yang ditunggu-tunggu datang jua. Pagi hari, kami menuju kampus UIB untuk melaksanakan acara pelepasan dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang diwakili oleh Bapak Suhendar. Acara ini diisi pula dengan acara talkshow kemaritiman, terkait Ekspedisi Nusantara Jaya. Seselesainya, kami menaiki bus menuju ke Pelabuhan Punggur. Semua peserta sangat bersemangat ketika selama perjalanan di dalam bus. Bernyanyi mars ENJ, mars Per*ndo, dan entah lagu apalagi.


Kicuk, Fatwa, & Ical
Sampainya di pelabuhan, kami segera mengangkut barang-barang bawaan kami dan menitipkan di truk milik penumpang kapal yang kebetulan akan menuju ke Dabo jua. Sekitar pukul empat sore, kami memasuki KMP Sembilang yang akan membawa kami menuju ke Kabupaten Lingga. Pelayaran menempuh waktu selama kurang lebih 14 jam. Malam harinya kami berkumpul di geladak atas. Melakukan diskusi rapat kecil terkait kegiatan-kegiatan yang akan kami lakukan di pulau tujuan masing-masing. Tidak ada sama sekali bayangan tentang pulau yang kami tuju. Memang kala itu, beberapa teman pernah menuju ibukota kabupaten namun belum mengetahui informasi secara menyeluruh tentang pulau-pulau yang direkomendasikan oleh pihak pemerintah daerah. Alhasil, kami masih meraba-raba rencana kegiatan yang akan dilakukan. Mengantisipasi beberapa perencanaan dengan praduga atas pengalaman masing-masing peserta.

Kapal Roro KMP Sembilang
Ada pula hal mitos yang sempat kami dengar tentang pulau-pulau yang kami tuju. Tentang adat istiadat yang dilarang dan harus dijaga. Semakin membuat ketir saja setelah mendengarkan cerita beberapa teman yang tahu tentang hal tersebut.

Tengah malam, kami melewati perairan Selat Cempa. Ombak disini sangat terasa sekali. Kapal terombang ambing begitu terasa. Beberapa teman merasa mual-mual kemudian tepar. Aku sendiri memilih turun ke ruang utama untuk menetralisir rasa pusing dan kobaran angina laut yang sangat kencang. Tidak lama, hujan mengguyur pelayaran kami malam itu. Aku tidur pulas di atas kursi penumpang kelas ekonomi.

Sehabis subuh, kapal hampir sampai di perairan Pulau Lingga. Matahari muncul di buritan timur. “Gunung Daik di sebelah sana”, kata seorang penumpang sambil menunjukkan. Seluruh peserta Tim ENJ Kepri memenuhi geladak atas untuk melihat surya pagi itu. Kemudian mengisi waktu dengan senam bersama dan meneriakkan yel-yel masing-masing. Semuanya saling berbaur satu sama lain.

Tambak ikan lepas pantai dekat Pulau Singkep
Kapal berlabuh di Pelabuhan Jagoh, Dabo, Singkep sekitar pukul tujuh pagi. Sampai disana, semua camat masing-masing sudah menjemput kami dengan angkutan elf yang akan kami gunakan untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Disini, kami mulai berpisah berdasarkan tim masing-masing. Tim 3 menuju Pulau Selayar menggunakan pompon sekitar 15 menit, sedangkan Tim 2 menaiki elf menuju ke Singkep Pesisir. Lain halnya dengan tim kami. Menaiki elf menuju Muara Sungai Buluh. Dilanjutkan menaiki perahu bermesin untuk mencapai Kepulauan Posek.


Nyebrang lagi naik perahu dari Muara Sungai Buluh
Sepanjang perairan yang kami lalui, ada banyak sekali pulau-pulau kecil tidak berpenghuni yang ditumbuhi pepohonan kelapa dan sebagainya. Hanya beberapa pulau saja yang berpenghuni. Itu pun, rumah panggungnya yang nampak bisa dihitung. Lautan lepas diantara luasnya samudera. Airnya berwarna kebiruan. Sangat bersih sekali.


Perairan menuju ke Posek
Suara mesin kapal sangat keras terdengar. Hampir 2 jam di atas perahu, kami memasuki wilayah Kepulauan Posek. Nahkoda perahu kami saat itu Pak Riyadi. Menjelaskan bahwa Kepulauan Posek terdiri dari beberapa pulau-pulau kecil yang tersebar. Transportasi utama yang digunakan adalah perahu untuk menyambangi antar pulau. Di perjalanan, ada banyak perahu kecil saling melintas entah kemana saja. Sebentar, aku melihat tentang kemaritiman di depan mataku langsung. Inilah awal dari tujuan yang ku cari.


Pesisir Teluk Nipah
Tidak lama, kami mendekati satu pulau di depan. Derrmaga kecil menjorok ke laut berwarna biru. Ada gazebo di ujungnya dengan atap segitiga. Di pulau itu, rumah-rumah panggung warga pesisir banyak berdiri hingga ke ujung. Semua rumah terbuat dari kayu. Dengan tonggak kayu sebagai tiang penyangga. Perahu ditambatkan dengan tali ke salah satu tiang kayu di belakang rumah panggung yang berada di atas pesisir. Perhentian kami sampai jua di Pulau Nipah. Disana, kami bertemu dengan Pak Nazar (BPD Posek). Pak Camat memberikan kepercayaan kepada beliau atas kedatangan kami selama di Posek nanti.


Dermaga Teluk Nipah
Tempat tinggal kami dibagi menjadi dua tempat. Anak perempuan tinggal di rumah kosong di wilayah RT 2, sedangkan kami anak laki-laki tinggal di sebelah rumah Pak Safi’i (Ketua RT 3). Disana, beramah tamah dengan warga dan anak-anak. Sangat bersyukurnya, kami dijamu dan dilayani dengan begitu hangat.


Rumah tinggal laki-laki

SEKILAS TENTANG KEPULAUAN POSEK

Kecamatan Kepulauan Posek merupakan kecamatan pemekaran baru dari Kecamatan Singkep Barat. Kecamatan ini terdiri dari beberapa pulau diantaranya Pulau Posek, Pulau Panjang, Pulau Noja, Pulau Suakbuaya, Pulau Mas, Teluk Nipah serta pulau-pulau kecil lainnya. Kecamatan yang dipimpin oleh Bapak Abdul Jamal ini bertanggungjawab atas pemerintahan kecamatan yang berumur baru beberapa bulan saja.

Peta Kepulauan Posek
Pusat pemerintahan kecamatan terletak di Tanjung Pering. Desa Posek. Potensi ekonomi yang terdapat di kecamatan ini adalah hasil tangkapan laut yang sampai diekspor ke Singapura. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan tradisional. Terdapat pabrik batu es dan tempat pengumpulan ikan yang berada di Pulau Mas Bangsal. Hanya ada beberapa sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Beberapa anak yang tinggal di pulau yang berbeda dengan letak sekolah, mereka harus berangkat dengan menggunakan pompong. Padahal hal tersebut sangat berbahaya sekali bagi anak-anak pulau, terlebih ketika musim ombak sedang kencang. Tidak terdapat sekolah menengah atas di kecamatan ini sehingga untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat atas, anak-anak harus bersekolah di Dabo, Pulau Singkep. Di Teluk Nipah sendiri dulu pernah dijadikan sebagai kawasan tambang bauksit yang hanya beroperasi beberapa tahun saja.

Beberapa keterbatasan masih nampak sekali di kecamatan ini. Hal utama seperti keterbatasan jarak dan infrastruktur yang belum laik, membuat pulau ini cukup terisolir dari kegiatan ekonomi yang masih terbatas pada kegiatan penangkapan dan penjualan ikan di pabrik. Hal lainnya, kurangnya sumber air bersih dan sanitasi yang buruk menjadi persoalan yang sangat diperlukan. Hal ini tentunya agar masyarakat pesisir disana dapat hidup secara layak. Keterbatasan lain dalam hal infrastruktur yang masih menjadi PR penting bagi pemerintahan. Salah satunya sumber listrik yang baru hanya terlaksana di beberapa pulau. Pada waktu kegiatan tim ENJ melakukan ekspedisi kesana, petugas mulai membangun tiang jaringan kabel di Pulau Mas dan Pulau Posek. Masyarakat di pulau yang sama sekali belum mendapatkan akses litsrik, biasanya mereka menggunakan solar untuk tenaga mesin genset sebagai sumber penerangan yang hanya beroperasi beberapa jam saja. Kemudian terkait dermaga yang belum tersedia di beberapa pulau, sehingga ketingga air sedang surut, perahu tidak bisa berlabuh sampai ke daratan sehingga membutuhkan akses infrastruktur dermaga.

Baca kegiatan kami selama masa pengabdian dan merasakan menjadi warga pesisir di tulisan Cerita di Batas Negeri (I) J
Share:

November 09, 2017

PENANTIAN MENUJU KE PELOSOK NEGERI

Poster ENJ 2017
Tahun ketiga program EkspedisiNusantara Jaya kembali dibuka. Pengumuman pendaftaran sudah diviralkan oleh pihak penyelenggara yakni Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia pada awal Juni. Salah satu program pengabdian kepada negeri yang telah ku idamkan sejak kegiatan perdananya tahun 2015. Saat itu, aku tahu program ini dari seorang sahabat yang akan melakukan ekspedisi ke Mentawai. Setelah kepo mencari-cari tahu info ini, akhirnya aku tertarik untuk mendaftar di tahun selanjutnya. Sampai pada 2016, aku pun mendaftar program tersebut dengan memilih ekspedisi tujuan ke Kepulauan Seribu karena dekat dengan domisiliku saat itu. Tak dinyana, harapanku gagal dari sekian 10.000-an pendaftar lainnya yang memilih Jakarta sebagai rute pelayaran. Oke, its ok for me. Masih ada kesempatan lain untukku.

Sampailah tahun ketiga ini. Tekadku masih utuh. Aku harus mencoba lagi dan lagi. Menariknya, di tahun ketiga ini kuotanya semakin banyak yakni 3.000 pemuda yang terdiri dari anak SMA yang berlayar menggunakan KRI, lalu jalur mahasiswa dan jalur pemuda/umum dengan menggunakan kapal perintis. Tujuan program ini diantaranya meningkatkan wawasan kemaritiman untuk generasi muda Indonesia untuk mengenal potensi maritimnya terutama di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). Tidak hanya melakukan ekspedisi pelayaran yang tujuannya melatih kepribadian, tetapi juga mengabdikan diri untuk melihat, memahami, melakukan hal-hal kecil yang bermanfaat bagi masyarakat di daerah tujuan. Ibarat kata, pulau-pulau di pelosok negeri.

Aku pun mempersiapkan beberapa syarat pendaftaran seperti essay, surat izin orang tua, surat pengajuan diri, surat kesehatan, dokumentasi pendukung keterampilan dan mengisi formulir online pendaftaran agar semua berkasnya lengkap. Ada satu hal yang menggelitik ketika mengurus surat kesehatan waktu itu di Puskesmas Jombang, Tangerang Selatan. Kala itu ketika ditanya oleh petugasnya soal kepentinganku mengurus surat tersebut, dengan garingnya tertawa kecil memplesetkan ENJ menjadi ekspedisi harta karun. Pengen kali diribak mukanya. Surat kesehatan adalah formalitas semata untukku. Selembar kertas dengan tanda tangan dokter yang menjabarkan informasi seseorang dengan data fisik seperti tinggi, berat badan dan tekanan darah. Dengan membayar 30 ribu aku mendapatkan surat yang menyatakan bahwa aku sehat.

Esok harinya aku mendaftar dengan beberapa pertimbangan rute yang diantara Sumbar, NTT, dan Kepri. Pada pendaftaran gelombang 1, aku tidak menemukan rute provinsi di Jawa, kecuali Jakarta. Jelas aku tidak mau lagi memilih rute ini karena mengambil peluang dan kesempatan di rute lain yang pendaftarnya masih relatif wajar persaingannya. Akhirnya ku putuskan memilih Kepualauan Riau karena pelayarannya menuju Natuna dan Anambas. Suatu daerah yang sangat kaya dengan potensi minyak dan wisatanya pikirku.

Saya siap menjadi bagian dari ENJ 2017 
Sampai di tahap pengumuman, namaku dinyatakan lolos dengan 100 orang lainnya. Waktu itu di akhir Juni, masih dibuka pula pendaftaran gelombang 2 juga kesempatan untuk beberapa peserta cadangan atau lulus bersyarat untuk melengkapi berkas masing-masing. Sembari menunggu pengumuman akhir, aku mulai direnggut kompleksitas pekerjaan di kantor. Mulai menimbang beberapa pilihan dan kesempatan.

Juli untukku adalah hal ketar-ketir dalam pemilihan keputusan proses kehidupanku. Antara ingin resign atau mengambil izin panjang ketika mengikuti ENJ nantinya. Berkali-kali bercerita kepada keluarga dan teman. Aku pun mengajukan resign di akhir Juli. Sebab, surat PHK akan turun satu bulan ke depan. Sedangkan aku memulai ekspedisi di awal September. Sebuah keputusan yang berat memang. Namun ada hal-hal lain yang menguatkan keputusanku. Every person have their own path, I think. Ketika aku menyudahi, bukan berarti merasa kurang terhadap apa yang sudah aku capai. Kembali dengan berbagai kemungkinan dan harapanku ke depan. Bisa jadi, tahun depan tidak ada lagi program ENJ. Wallohu ‘alam sih. Bagi sebagian orang mungkin berpikir, manfaat apa yang didapatkan kecuali pengalaman. Aku sedikit kesal pula ketika materi digunakan sebagai skala pengukuran dalam sebuah pencapaian apalagi berhubungan dengan kegiatan sosial. Jelasmya aku hanya ingin belajar menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain dengan hal kecil apapun itu, ditambah pengalaman baru yang didapat nantinya. Hal lain mendukung, aku sedang berada pada titik jenuh dengan rutinitas pekerjaanku. Ingin segera keluar dari zona nyaman. Hingga akhirnya aku mengecewakan orang terdekat atas pilihanku, resign dan I feel free!

PERSIAPAN KEBERANGKATAN  

Di hari keberangkatan, bertemu sahabatku yang barusan pulang mengabdi di Tanimbar, MTB.
Sampainya di Gambir setelah menempuh perjalanan dari Purwokerto, aku menuju Soetta menggunakan bus DAMRI. Siang nanti aku akan terbang ke Hang Nadim, meeting point bersama teman-teman lainnya dari beberapa provinsi di Indonesia yang sebagian baru berkenalan lewat sosial media. 


Kuy mengabdi kuy
Perjalanan udara hampir selama 1,5 jam dengan pemandangan langit yang berawan. Sampainya di atas langit Kepulauan Riau, pulau-pulau kecil bertebaran di sekitaran. Pulau Batam sendiri masih banyak ditemukan hutan-hutan gambut, sebagian dibabat nampak habis hanya tanah merah, jalan memanjang dengan rumah yang jarang. Pesawat landing pukul 16.20 di Hang Nadim. Segera keluar menuju conveyor untuk mengambil bagasi. Di lobby bandara, aku bertemu dengan Mba Laila yang berasal dari Semarang dan Luki dari Surabaya. Baru kami bertiga saja peserta yang datang dari luar kota. Sedangkan teman-teman lain baru akan datang esok hari dan lusa. Menjelang maghrib, Bagus datang menjemputku sehabis mengambil seragam di terminal kargo yang dikirim dari pusat. Setelah itu, aku bertemu dengan Pusyu, Suju dan Depoy. Malam harinya, bertemu dengan teman-teman lain di kafenya Bang Dian di daerah Batuaji. Malam itu kami ngobrol santai menjelang malam. Kami pulang larut malam pukul satu dini hari melewati jalanan Batam yang sepi di pinggirannya masih rapat akan pohon-pohon. Aku menginap di rumahnya Ari, foundernya Judulnya Indonesia. Gak taunya dia orang Pekalongan, owalah wong jowo toh sampeyan ri. Seduluran rek.

***
Sekitar jam sembilan, kami berangkat menuju kampusnya Ari. Hujan gerimis turun saat kami di tengah perjalanan dari Piayu. Beruntungnya kami sampai di UIB, tidak lama kemudian hujan turun sangat deras selama beberapa jam. Disana, aku menunggu Depoy untuk menemaninya ke kantor-kantor pemerintahan. 

Perhentian pertama kami menuju warung Mie Tarempa untuk makan siang bareng teman-teman. Ada Fatwa dari Makassar, Agus dari Bangka dan Mahmud asli Batam yang menjemput mereka. Setelahnya lanjut mengantarkan beberapa surat undangan pelepasan dan koordinasi dengan pihak ASDP mengenai jadwal keberangkatan kapal termasuk harga tiket keberangkatan kami.

Koordinasi dengan pihak ASDP, terimakasih wejangannya Pak Albert
Sore ini beberapa peserta mulai banyak berdatangan. Kami semua tinggal di basecamp di mana Bang Dian yang mengakomodir. Jadi teman-teman Batam sangat melayani kedatangan kami yang berasal dari luar Batam. Transportasi dan akomodasi dipersiapkan sangat baik sekali. Terima kasih untuk kawan-kawan Batam. Kalian mantap !

Kawan-kawan lagi beres-beres donasi
Sehari sebelum hari keberangkatan. Kami mulai menyortir pakaian dan buku-buku hasil donasi yang berhasil dikumpulkan. Pada ekspedisi esok, kami dibagi menjadi tiga tim pelayaran. Saya masuk di tim 1 dengan tujuan Pulau Posek, tim 2 menuju ke Pulau Singkep Barat, dan tim 3 mengabdi di Pulau Selayar.

Jalesveva Jayamahe.
Mari membangun untuk negeri.

Tunggu ceritaku menuju ke pelosok negeri di tulisan selanjutnya J
Share:

Instagram